The Importance of Appealing Followers’ Emotions

For more information, please read the following article translated from news published in Kompas.com – 21/08/2023 (See below).

Study: Positive Content from Doctors Inspires 84% of Followers to Embrace Healthier Lifestyles. >> Therefore: A vital key to social media success is stirring your followers’ emotions.

At present, there are over four billion social media users globally, with 105 million of them using Instagram in Indonesia alone. Addressing misinformation or hoaxes is not solely the government’s responsibility but a collective effort involving the government, stakeholders, and reputable professionals in various fields. One prominent area where misinformation has been widespread, particularly during the COVID-19 pandemic, is in the realm of health.

Foto dari Kompas.com, terkait berita tersebut di tautan ini.

In light of the lessons learned from the pandemic, Dr. Syafiq Basri Assegaff, in his doctoral research in communication sciences at Sahid University Postgraduate School on August 16, 2023, emphasizes the importance of professionals, such as doctors, harnessing the potential of social media as an educational platform to promote informed and positive opinions.

Syafiq’s research findings indicate that a significant 84 percent of followers were more inclined to heed doctors’ messages on social media when the content was engaging and enjoyable. Positive emotions, like joy or happiness expressed by followers, encouraged them to engage further by leaving comments and ‘liking’ posts, demonstrating an active interaction between both parties.

During his research, Syafiq analyzed 673 pieces of content posted by three doctors who served as influencers on Instagram over ten months, spanning from March to December 2020, a period when the COVID-19 pandemic was at its peak. The results revealed that 84 percent of the 581 surveyed followers intended to improve their lifestyles and health choices if the doctors’ messages evoked happiness.

Syafiq adopted mixed methods in his dissertation titled ‘Emotional Appeals: Doctors’ Competence as Instagram Influencers during the COVID-19 Pandemic.’ This approach combined a survey of 581 Instagram followers, content analysis, and interviews with three influential doctors. These doctors, experts in internal medicine, sports medicine, and renowned television personality dr. Lula Kamal, proved highly effective in employing persuasive strategies. Survey results confirmed the positive emotional responses from 92 percent of followers who participated. Moreover, video content garnered the highest level of engagement.

Syafiq underscores the importance of health professionals and influencers improving their communication skills on social media by employing effective persuasion strategies, especially considering the ongoing battle between disseminating credible information and spreading hoaxes and misinformation.

The research suggests that active involvement on social media should continue post-pandemic to promote public health awareness. According to Syafiq, from a neuroscience perspective, engagement and responses from the audience also create positive feelings in the communicator, attributed to the release of dopamine, a happiness-inducing hormone.

‘Happy hormone’ dopamine plays role in identifying emotions (source: University of Birmingham).

On social media, doctors should exhibit communication competence by crafting persuasive messages based on Aristotle’s rhetorical strategies of ethos, logos, and pathos. Ethos relies on a doctor’s credibility, goodwill, and trust, while logos requires delivering understandable and rational arguments. Nevertheless, the key lies in incorporating pathos, emotional appeal, to evoke positive emotions in followers.

List of Publications

Please find many articles in English and Indonesian languages published in the following media:

English Publications:

Article about Kampung Akuarium in the New Straits Times, 18 September 2021.

My article in The Jakarta Post, 23 June 2021

In Indonesian Language:

Health Related Issues:

Hundreds of articles in Tempo. Few examples only (all in Indonesian language):

On Communication, Corruption and Ethics:

My book on Anies Baswedan: on youth, dreams and Indonesia (2016).

Books:

  • Writer, ‘Anies, on Youth, Dreams and Indonesia’ (book in Indonesian language about ex Minister of Education (now the Jakarta Governor), Anies Baswedan PhD); (Originally titled “ANIES: Tentang Anak Muda, Impian, dan Indonesia.”); Bandung, Indonesia: Penerbit Noura, 2016;
  • Writer, ‘Beyond Dreams, Anies Baswedan at Twitterland’ (book in Indonesian about inspirational tweets of one of Indonesia’s president candidates (now the Jakarta Governor) Anies Baswedan PhD. (Originally titled: ‘Melampaui Mimpi Anies Baswedan @Twitterland’’); Bandung, Indonesia: Mizan, 2014.
  • Editor, Views of Indonesian Muslim Intellectuals on Tolerance Principles (book in Indonesian language: “Menuju Persatuan Umat, Pandangan Intelektual Muslim Indonesia,”) Bandung, Mizan Publisher, New Edition (2012); available at: http://www.slideshare.net/Syafiqb/menuju-persatuan-umat-ebook?related=1

Eh, Ternyata Ada 8 Mazhab Islam

Apa mazhab yang Anda anut dalam beragama? Apakah ia termasuk satu di antara delapan (8) aliran (atau mazhab) yang diakui ulama sedunia?

Awalnya dulu terdapat banyak mazhab dalam Islam, yang baru muncul setelah masa Tabi’in, sekitar abad ke-2 Hijriah. (Masa “Tabi’in” itu adalah era sesudah zaman “Sahabat”, ketika Muslimin hidup di tengah Nabi SAW. Sesudah Tabi’in adalah masa Tabi’it-Tabi’in). Kini mayoritas Muslimin di dunia, termasuk di Indonesia, mengikuti mazhab besar Sunni, atau biasa disebut dengan ‘Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah’ (disingkat ‘Aswaja’). Di dalam ‘rumah besar’ Sunni itu awalnya dulu terdapat belasan mazhab, tetapi hanya empat yang berlanjut (sustainable) berkat besarnya dukungan pengikut yang mengembangkannya, dan kekuatan politik di tempat mazhab-mazhab itu berada dan kemudian menyebarluaskannya. Sedangkan aliran lainnya tidak sempat berkembang, dan kemudian sirna.

Penyebaran mazhab di dunia
Mazhab-mazhab utama dalam Islam di Dunia

Continue reading Eh, Ternyata Ada 8 Mazhab Islam

5 Tips Rahasia agar Disukai Orang Lain

Ini tips rahasia. Tapi tidak lagi menjadi rahasia bagi Vanessa van Edwards, yang banyak meneliti mengenai perilaku manusia.

Dijuluki sebagai investigator perilaku manusia (human behavior), penulis buku “Captivate: The Science of Succeeding with People” ini mengelola situs Science of People. Selain itu, motivator dan trainer wanita yang beberapa kali tampil di acara TED Talks ini mengurus laboratorum risetnya di Portland, Oregon (AS), tempat ia mempelajari perkara karisma, pengaruh (influence) dan kekuatan bahasa tubuh manusia.

Dia memberikan lima (5) tips agar orang menyukai kita. Video berdurasi sembilan menit ini menjelaskannya. Mengutip sebuah tulisan di Australia Journal of Psychology, menurut Vanessa, orang yang disukai orang lain biasanya akan mendapatkan (atau bertahan pada) pekerjaan, bukan karena kemampuan tekninal atau pun bakat mereka, tetapi karena faktor ‘disukai’ — “likability,” katanya.

Versi lain tulisan ini telah ditayangkan oleh Kompas.com pada 6 Januari 2022 melalui tautan berikut (klik di sini).

Vanessa van Edwards: Lima Langkah

Mengapa begitu? Sebab, orang yang disukai orang lain (likable people) lazimnya lebih mudah diajak bekerjasama, asyik bila berada dalam tim (kelompok) yang sama, dan mudah mengajak orang lain kerja bareng.

“Likability merupakan penentu terpenting bagi kepopuleran seseorang dan penerimaan oleh orang lain dalam kelompok sosial orang dewasa. Hal itu lebih penting ketimbang kekayaan, status ataupun daya tarik fisik (ganteng, cantik),” kata John Kinnel yang dikutip Vanessa.

Saya meringkaskan lima tips yang dikemukakan Vanessa untuk Anda berikut ini:

Pertama. Berikan tanda (sinyal) bahwa, “Saya Menyukai Anda” — I like you. Menjadi disukai bukan sekadar ‘enak’ dirasakan, melainkan sebuah kebutuhan (need) bagi semua orang. Bahkan tokoh populer, para artis, orator (public speaker) pun membutuhkan orang yang menyukai mereka. Oleh karena itu, tunjukkan sikap bahwa Anda menyukai orang itu, karena dampaknya orang itu akan balik menyukai Anda. Jangan mengira bahwa secara otomatis orang tahu bahwa Anda menyukainya. Tetapi berikanlah sinyal bahwa Anda menyukainya, jangan menyembunyikannya. Jika Anda tidak menunjukkan bahwa Anda menyukai seseorang, maka orang itu akan menganggap Anda tidak suka padanya. Sebab, orang takut ditolak, merasa rejected. Oleh karena itu, berikan tanda-tanda (sinyal) bahwa Anda menyukainya.

Kedua. Kita Menyukai orang yang Suka pada Kita. Jika Anda suka pada lebih banyak orang, maka akan ada lebih banyak orang yang menyukai Anda. Secara saintifik diketahui bahwa orang takut jika tidak disukai (ditolak) orang lain. Sebab rumusnya adalah, “kita akan suka pada orang yang menyukai kita.” Manusia memang unik: ketika (pada saat) seseorang mengetahui bahwa ada seorang lain menyukainya, maka dia pun akan menyukainya. Dari studi yang ada, kata Vanessa, siswa-siswa yang paling populer di sekolah biasanya menyukai banyak orang, sehingga mereka juga disukai orang banyak.

Ketiga: gunakan “Dampak Saling Suka karena Kesamaan” (the Similarity Attraction Effect). Kembali kepada butir sebelumnya, orang suka pada mereka yang menyukainya. Kita menyukai orang yang sama atau serupa dengan kita, punya minat yang sama, tampil serupa dengan kita, dan sebagainya. Lalu, pakailah hal tersebut pada langkah berikutnya di bawah.

Ke-empat: Cari dan tunjukkan kesamaan dengan orang lain. Segera setelah mengetahui adanya hal yang sama dengan orang lain, tunjukkan hal itu padanya. Jangan biarkan kesamaan itu lewat begitu saja. Suguhkan kesamaan Anda dengan orang itu, bisa dalam bentuk yang sederhana, misalnya sama-sama menyukai menu makanan tertentu, sama-sama mengenal tuan rumah acara yang Anda hadiri, pernah merasakan kesedihan serupa, menyukai film atau lagu yang sama, atau sama-sama lulusan sekolah tertentu, dan sebagainya.

Kelima, bersikaplah apa adanya. Be real, kata Vanessa, jangan berpura-pura, atau menjadi Drama Queen atau Drama King. Riset dari UCLA meneliti 500 kata sifat (adjectives) berdasarkan perannya pada likability. Hasilnya menunjukkan bahwa adjectives itu tidak berhubungan dengan apakah seseorang itu bersifat (tampak) pintar (smart), menarik secara fisik (attractive), atau suka ‘ceplas-ceplos’ (extrovert), melainkan sangat berkaitan dengan tiga sikap (sifat) berikut: ketulusan (sincerity), terbuka (transparency), dan kemampuan (niat) untuk mau memahami (capacity for understanding). Maka, langkah yang bisa dilakukan adalah: kenali diri sendiri. Bersikap apa adanya dalam berpendapat, memiliki hobi dan nilai-nilai mulia dan berpeganglah terus kepadanya. Jadikan priotitas untuk mengetahui apa yang selalu menarik bagi kita, bacalah lebih banyak buku dan tingkatkan wawasan kita. Kemudian, sampaikan apa-apa yang Anda sukai itu pada orang lain yang kiranya memiliki kesamaan dengan kita.

Satu tahap sebelum semuanya itu dan merupakan hal penting, kata Vanessa, adalah sukai diri sendiri — like yourself. Jika Anda tidak senang pada diri sendiri, sulit rasanya mengharapkan orang lain menyukai kita.

Ingatlah bahwa, “orang-orang yang banyak disukai orang lain akan memiliki karisma lebih besar (charismatic) dan jauh lebih berpengaruh (influential).”

Success in Fighting the Pandemic: Hopes from Jakarta

Note: Since first time it was published, this article has been updated from time to time, so that readers can have better comprehension in the reading. [Sejak awal diterbitkan, tulisan ini mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, agar pembaca mendapatkan informasi terbaru.]

AFTER 18 months of the Covid-19 pandemic, it still seems not easy to get a clear picture of the outbreak in Indonesia. We still do not know whether we will be weaker in the near future or get stronger. As we all can see, Indonesia has become one of the epicentres of the global pandemic in recent weeks, with positive COVID-19 cases leaping fivefold in the past five weeks.

Worse still, in the middle of unsuccessful recent lockdown, it is weird (for many) to see the government only seeks to simplify curbs regime with another name change. No wonder that (or because of that) the World Health Organization (WHO) on Thursday (22 July 2021) urged this country to implement a stricter and wider lockdown to combat surging COVID-19 infections and deaths, just days after President Joko Widodo flagged the easing of restrictions, as reported by Reuters in The Jakarta Post recently.

Lately daily deaths hit record highs over 1,300, among the highest tolls in Asia, or even in the world. In its latest situation report, the WHO said strict implementation of public health and social restrictions were crucial and called for additional “urgent action” to address sharp rises in infections in 13 of Indonesia’s 34 provinces.

Indonesia is currently facing a very high transmission level, and it is indicative of the utmost importance of implementing stringent public health and social measures, especially movement restrictions, throughout the country,” it said.

Under Indonesia’s partial lockdown, social restrictions such as work-from-home and closed malls are limited to the populated Java Island, and Bali, as well as small pockets in other parts of Indonesia. Large sectors of the economy deemed critical or essential are exempt from most, or some, of the lockdown measures.

Recently President Joko “Jokowi” Widodo identified an easing of restrictions from next week, citing official data showing a fall in infections in recent days. “If the trend of cases continues to decline, then on July 26, 2021, the government will gradually lift restrictions,” President Jokowi said.

But we worry about this, since, as epidemiologists said, the decrease has been driven by a drop in testing from already low levels. Indonesia’s daily positivity rate, the proportion of people tested who were infected, has averaged 30 percent over the past week even as cases numbers have fallen. A level above 20 percent meant “very high” transmissibility, the WHO said. Apart from Aceh, all Indonesia’s provinces had a positivity rate above 20 percent.

However, looking from Jakarta’s way in fighting the pandemic, we can put better expectation. Although the number of cases has recently increased, there are hopes that Jakarta is going to win the war soon. This can be seen, at least, through the way its governor, Anies Baswedan, implemented and controlled the policy of harsher ‘lockdown’ in the capital.

Cases in Jakarta show good indication of decrease. After its peak on July 12 (with 14619 cases), daily case in Jakarta went down to 12415 (16 July), 9128 (18 July), and to 6213 on 20 July. Although in volatile time like now cases are up and down from time to time, but at least we have seen a light at the end of the tunnel.

Graph of recent COVID-19 daily case in Jakarta (orange) vs Indonesia (blue) — source: https://corona.jakarta.go.id/en

Last July 6, for instance, Anies Baswedan has made it known that he is leading the charge to enforce a full work from home (WFH) policy following the implementation of the Emergency Enforcement of Restriction on Public Activities (PPKM), as many offices in the capital remain open when they should not.

Governor’s actions.

On his Instagram, Anies posted stories of him performing unannounced inspections at an office building in the center of the capital, where he found that the offices of Ray White, a real estate agency, and an insurance firm (Equity Life) remained open. They were judged as violating the PPKM, which mandates that all workplaces in non-essential sectors must close and implement a full WFH policy.

Your company is not being responsible. This isn’t about profit or loss, this is about people’s lives. People like you are so selfish,” Anies scolded the woman in the video, who is a human resources staff at one of the companies. Media portal Coconuts reported that the governor also reserved some harsh words for an office manager at the other company.

We are burying people every day, Sir. You take responsibility. We are all stumped. Especially as there is a pregnant woman here. Going into labor is difficult for pregnant women during COVID-19. This morning I was told that one pregnant woman died. Why? Because she gave birth while she had COVID-19,” he said.

Watch this Kompas TV sequence, when Anies reprimanded the human resources staff at a Jakarta office:

Anies said employees at both offices were told to go home and that the police will sanction those responsible with possible violations of the Health Quarantine Law and the Criminal Code (KUHP).

The office was not taking the public beating lying down. The insurance company said it should be exempted from the full WFH policy, which gives concessions to companies in the finance and banking sector to enforce a 50 percent WFH policy.

As things stand, both offices have been ordered to close for the entire duration of Emergency PPKM, which is set to last until at least July 20.

There have been concerns that many companies in Jakarta were not fully complying with the WFH policy, with one indicator being the traffic gridlocks on some of the capital’s major roads. Employees in non-essential sectors who were forced to work at the office were encouraged to report their employers through the smart city mobile app JAKI.

In recent action, Anies Baswedan has issued a new gubernatorial decree concerning the PPKM Level 4, which in essence extending the public mobility restrictions policy (previously called Emergency PPKM) from July 21 to 25.

Since the beginning of the pandemic, Jakarta has suggested two policies — early detection and a regional quarantine — but it was soothed by the central government. In the end, the central government provided all local governments with “large-scale social restrictions”, but since February, this has changed into seemingly half-hearted “micro-scale public activity restrictions” across Java and Bali.

When Jakarta was named the epicentre for Covid-19 transmission, its administration immediately asked all employees in the city to work from home, besides shutting down public places as well as school and campus activities.

Governor Anies Baswedan has declared that the pandemic is serious and cannot be eradicated instantaneously. That is why he has always refrained from making assumptions or giving false hope that the outbreak will only be temporary.

It has not been easy for the city of almost 11 million people to handle the highest spike in cases a few weeks before the end of last year. Before the spike in June and July 2021, the situation also became worse in the first week of January.

In April 2020, the governor ordered people to use face masks, particularly while using public transport which has also been restricted. He suggested that people wear washable masks due to the scarcity of disposable ones in the market, where prices for a box jumped by 300 to 1,000 per cent.

Since last year he has disciplined the city’s bus drivers and required the Jakarta mass rapid transit operator to only allow passengers with masks to board, a policy which was subsequently adopted by the national rail services.

The capital administration also carried out real time reverse-transcription PCR tests — which, according to the deputy governor, is eight times higher than the WHO standard — showing a serious step to obtain accurate and reliable data. While waiting for the RT-PCR equipment to arrive, city administrators focused on providing more doctors and health workers to serve the people.

Then, before the Idul Fitri (“lebaran”) long holiday there were the two-week Christmas and New Year holidays that led to a surge in Covid-19 cases. The daily active cases, which was 13,082 in Dec 22, soared to 15,376 on Jan 5 and further to 21,679 on Jan 17 before topping 26,029 on Feb 5.

Learning from this incidence, the governor urged Jakartans to stay home during the three-day Chinese New Year holidays, which started on Feb 12. And it was effective: daily active cases, which was 20,662 in Feb 12, dropped to 16,986 on Feb 15, then further to 12,065 on Feb 23, 9,913 on Feb 27, and finally, to 7,179 on March 3.

Counting daily active cases, comprising people under treatment in hospitals plus the ones in home isolation, is an important parameter for preparing medical facilities to cater to the pandemic.

All the above information is available on a Covid-19 site (corona.jakarta.go.id). The Jakarta administration keeps the data open to maintain public trust. Any government does have a limited playing field to assert its authority.

When it comes to private lives, it is up to the people to decide whether to continue practicing safe procedures against the virus, or to leave them out on the streets. It is undeniable that transparency and truth will lead to surprises.

Stealing thunder.

But it will be desirable if we handle the crisis with transparency and goodwill. Apparently, the Jakarta administration has been responsive to suggestions by communication experts like Timothy Coombs.

When an organization, as an information source, is open about an occurring crisis, there will be less reputation damage if other sources deliver the vital information. This is known as “Stealing thunder strategy“.

The authorities are advised to be open from the early stage, especially with regards to accuracy and consistency, to win public trust. In contrast, inaccuracy destroys credibility and creates confusion among the public.

The Jakarta way in handling the outbreak shows that if we rely on analysis and policies based on information from health and communication scientists — rather than economists and military men only—we may expect better results in handling the pandemic.

The Bigger Threat the Better in Pandemic

With the new wave threatening countries like Indonesia after the Idul Fitri long holiday (May-June 2012), it is paramount for the Indonesian government to emphasize the ‘bigger threat perception’ strategy to the citizen. This article, written in The Jakarta Post last February 24, 2021, tell us why.

Although there has been an increase in COVID-19 cases, Indonesians may be content with the new health minister, Budi Gunadi Sadikin, as he has established a better scientifically based approach to testing and tracing.  “The test should target ‘suspected’ persons, not someone who wants to travel, or, like Budi Sadikin, who is to meet the President,” Budi said, claiming that he took five swab tests a week, each as part of protocols to enter the Presidential Palace. 

The new infection surge in Indonesia: the bigger threat perceived the better for lessening the case.

He recently likened the pandemic to World War I and II, as both claimed millions of lives. The ministry has therefore adopted a surveillance strategy through prudent testing and tracing, and aiming to vaccinate more than 181 million Indonesians within one year.

“This is a war and we have to annihilate the enemy. That’s why we involve the police and military. They do not brandish guns but syringes,” Budi told the media.

Although Budi is not a physician, his managerial experience at various national banks has sparked new hope for many, especially medical workers to whom he has shown his sympathy for their hard work. He does not belittle threats of COVID-19 either, unlike his predecessor. Perhaps Budi aims to replicate the methods in place and successful in Singapore and New Zealand. The government announced the first two confirmed cases of COVID-19 on March 2, 2020, although epidemiologists had seen it coming in January and warned the government of it.

President Joko “Jokowi” Widodo admitted that the government had deliberately hid some information so as to not create panic among the nation’s 270 million people. This reminds us of then-United States president Donald Trump, who chose to cover up the real number of Americans contracting the virus. After almost a year into the pandemic and 34,691 dead (as per Feb. 23) in Indonesia, what has often featured in government communications is the high recovery rate. Unsurprisingly, many Indonesians have not taken the pandemic seriously. 

From the beginning, however, the reliability of the government’s data has been questionable, so the point that it could not form the basis of an accurate epidemiological curve. Luckily Budi has acknowledged the problematic data and promised to fix it. The data discrepancy may have resulted in an underreported mortality rate.

What interests us is the fact that Jakarta applies a different standard for calculating the number of deaths. In the capital city, the mortality number is divided into two categories. The first includes those who died with positive swab test results. This is the data that has always been reported to the central government. But Jakarta has also counted all bodies laid to rest under COVID-19 procedures, regardless of whether tests had been performed.

The reason is that the cause of death was similar or related to COVID-19 symptoms. No wonder the number is higher than that reported to the central government. Rationally, this approach provides more accurate data as the foundation of policies and COVID-19 response. It also gives the Jakarta administration and its residents a sense of readiness. Jakarta is not alone in this regard. 

The Economist (Sept. 26, 2020) reported that in many countries, the number of deaths and confirmed cases were undercounted. One way to prove the practice is finding what is called the “excess mortality” rate by comparing the number of deaths in 2020 to the predicted mortality number. Between March and August 2020, countries in Western Europe, some Latin America nations, the United States, Russia and South Africa documented 580,000 COVID-19 deaths but there were 900,000 excess deaths.

This means that the true toll of their share of the pandemic appears to have been 55 percent higher than the official data. While such an approach, which shows the magnitude of the threats and risks of the pandemic, may create panic rather than calm, it prompts society to respond to the crisis more seriously and therefore strictly comply with the health protocols.  From the viewpoint of crisis communication, such a strategy has proven to be more effective in dealing with any threat of risk.

Communication expert Kim Witte (2001) explained how the threat could be a good way to generate proactive, healthy and protective actions by those who received the message of risk. We can argue that to persuade people to act, it is suggested that messages should be given so that people are aware of threats and strengthen their self-efficacy to act in mitigating threats.

When people think that the threat is low, they will not respond to the message. However, when someone perceives a serious threat, they will usually be motivated to take action. Witte said the greater the threat in one perception and the more sensitive a person is to the threat, the more likely they are to take action to avoid the negative feeling about their fear.

That’s why epidemiologist Syahrizal Syarif has suggested that the government adopt stricter measures. Learning from the Jakarta case, micro-level quarantines in place need revision. The University of Indonesia scholar opined that COVID-19 cases in Jakarta and other regions could not be controlled without implementing a lockdown or regional quarantine for 28 days (tempo.co Feb. 9). With the positivity rate reaching 20 percent, many people who have been infected are not traced and they may have transmitted the virus to the surrounding communities.

The micro-level quarantines come too late and there is no guarantee they will work properly.

Read also:

  • The Best Way to Manage Large Gathering during Long Holiday such as “Mudik” After Idul Fitri: another post in this blog.

Wasiat Terakhir Imam Ali – The Last Will of Ali

Setelah ditikam Ibnu Muljam saat solat di masjid Kufah (Irak) pada dini hari 19 Ramadhan 40 Hijriah , berikut di antara wasiat Khalifah Ali: “Perjuangkan kebenaran. Perangi para penindas, dan bantulah yang didzalimi. Jaga persatuan. (Bersatu kembali di atas perbedaan yang ada lebih berharga ketimbang semua solat dan semua jenis puasa –reconciliation of your differences is more worthy than all prayers and all fasting). Beri makan anak-anak yatim. Jaga hubungan baik dengan tetanggamu. Nabi saw berkali-kali mengingatkan soal tetangga, sehingga seolah-olah mereka itu berhak mendapatkan warisan.”

Dan seterusnya, silakan baca pesan-pesan wasiat beliau di bawah… Tentang saat-saat terakhir kehidupan Khalifah Ali silakan klik ‘Imam yang Syahid di Mihrab” ini.

Imam Ali‘s (AS) last will to his sons Imam Hasan (AS) and Imam Hussain (AS) after the attempt on his life by a stab from Ibn Muljam:

Honey Bee - Ali as
Jadilah seperti lebah madu: semua yang dimakannya bersih, segala yang dihasilkannya manis, dan ranting pohon yang didudukinya tidak patah. (Imam Ali as).

Wasiat terakhir Khalifah IV Ali bin Abithalib (as) kepada kedua putranya Hasan dan Husain setelah beliau ditikam (di Masjid Kufah) oleh Ibn Muljam:
  • Nasihatku untuk kalian, selalu ingatlah kepada Allah dan jaga agamamu sebaik-baiknya. Jangan mengejar dunia, dan jangan sampai tergoda olehnya. Jangan menyesali apa pun yang kau luput daripadanya (tidak memperolehnya). Perjuangkan kebenaran; dan beramal-lah untuk akhirat. Lawanlah para penindas (orang dzalim), dan bela mereka yang tertindas (terdzalimi).
  • Aku nasihatkan kepadamu, semua anak-anakku, keluargaku, dan siapa saja yang menerima pesan ini, ingat (bertakwa)-lah selalu kepada Allah; hilangkan semua perbedaan, dan jagalah selalu tali persatuan (ukhuwah). Aku pernah mendengar kakek kalian (Nabi saw) berkata: “Menyambungkan perbedaan (silaturahim) lebih tinggi nilainya daripada semua solat dan segala (jenis) puasa.”
Tulisan ini awalnya ditayangkan pada 7 Januari 2013.

Continue reading Wasiat Terakhir Imam Ali – The Last Will of Ali

Ikut Al-Shugairi Keliling Eropa

Wartawan Arab Ahmad Al-Shugairi, punya program televisi yang menarik berjudul “Khawatir” di stasiun TV Aram. Ia sering keliling dunia.

eu-map-european-union-jpeg-ver-rlc-06-10-13
European Union: 28 negara

 

 

 

 

 

Beberapa tahun silam Al-Shugairi keliling Eropa, dan berhasil menunjukkan banyak pelajaran yang menarik — khususnya yang terkait dengan nilai-nilai Islam, termasuk ‘persaudaraan sesama Muslim’.

Shugairi 3
Ahmad Al-Shugairi

Ahmad Al-Shugairi lahir di Jeddah, Saudi Arabia. Setelah lulus dari SMA, ia pindah ke AS, tempat ia meraih B.A. dalam Management Systems, dan MBA dari California State University-Long Beach.  Pada tahun 1996, ia kembali ke Arab Saudi, dan mulai bekerja pada bisnis ayahnya. Shugairi  dikenal sebagai aktivis dan media figure dari Saudi. Ia sangat populer dengan program TV-nya Khawatir , yang berlangsung dari 2005 hingga 2015. Dikenal kritis, Shugairi tergolong orang yang amat populer di Media Sosial, dengan  17,7 jutaan followers di Twitter (pada 18 November 2017).
Salah seorang tokoh yang dikenal di negara-negara Arab (sebuah majalah di UAE pernah menempatkannya sebagai ‘salah seorang pemuda yang paling berpengaruh’), pada 2015 Shugairi pernah meraih penghargaan ‘Sheikh Mohammad Bin Rashid Al Maktoum Knowledge Award‘ (penguasa Dubai) senilai US$ 1 juta. Memulai karirnya pada 2002, dalam program TV, Yalla Shabab, dan program lain di kanal MBC yang merupakan kisah menarik perjalannya bersama Syekh Hamzah Yusuf “A Travel with Shiekh Hamza Yusuf”.

Hamza Yusuf
Hamza Yusuf di Forum Ekonomi Dunia

Hamza Yusuf sendiri merupakan icon Muslim AS yang piawai. Pendiri Zaytuna College, ia adalah tokoh utama studi Islam klasik di AS.  Sebagai penasihat di Pusat Studi Islam pada the Graduate Theological Union in Berkeley, Hamza Yusuf dikenal gencar mempromosikan ilmu-pengetahuan Islami dan metodologi pembelajaran Islam klasik di seluruh dunia. Penasihat pada Center for Islamic Studies di Berkeley, ia juga “One Nation”-nya George Russell. Bersama Ali Lakhani , Nihad Awad, Habib Ali Al-Jufri dan sejumlah tokoh Muslim dunia lainnya, Hamza Yusuf merupakan Salah seorang penandatangan A Common Word Between Us and You, sebuah surat terbuka dari pemikir Islam kepada para pemimpin Nasrani dunia untuk mengedepankan sikap damai dan saling pengertian. Media Inggris  The Guardian menulis bahwa “Hamza Yusuf adalah sarjana Muslim paling berpengaruh di Barat, sedangkan majalah The New Yorker magazine menyatakan bahwa Hamza Yusuf “barangkali merupakan sarjana Muslim paling berpengeruh di Dunia Barat”.

Dalam tayangan program itu, Shugairi menunjukkan betapa negara-negara Eropa telah ‘memberikan pelajaran’ kepada kita tentang nikmatnya persatuan dan saling-pengertian. (Klik videonya di sini).

Belajar Bersatu dari Eropa… 

Continue reading Ikut Al-Shugairi Keliling Eropa

Ketika Burger Digebukin

Apa yang Anda lakukan kalau melihat ada anak yang di-bully teman-temannya? Sebagian orang mungkin diam saja, tidak tahu mau ngapain. Tapi sebagian yang lain barangkali akan tergerak untuk membela anak yang dibulli itu.

Anak lucu anti bully
Kalau kamu mau membulli teman saya, kamu harus menghadapi saya lebih dulu… 

Perkara perundungan (bullying) sering terjadi di depan kita — dan lazimnya yang jadi korban adalah anak-anak, baik SD, SMP atau pun SMA. Pelaku bisa saja kakak kelasnya, atau seseorang yang tidak dikenalnya, yang angkuh dan merasa jagoan.

 

 

 

Diperkirakan di seluruh dunia ada sekitar 30 % siswa sekolah dibulli setiap tahunnya.

Iklan Layanan Masyarakat (Public Service Announcement — alias PSA) yang dibuat Burger King ini menarik sekali. Dengan judul “Bullying Jr” (junior), Burger King merekayasa adegan bullying dua kali: pertama pada siswa sekolah SMP (High School Junior), dan kedua terhadap Whopper Jr (sejenis burger yang dikhususkan untuk anak atau remaja, alias junior). Mereka hendak melihat mana dari dua bullying itu yang mendapatkan complaint (reaksi keberatan atau protes) dari para pengunjung restoran cepat saji itu.

Hasilnya, 95 % customer menunjukkan keberatan pada burger (Whopper Jr) yang digebukin (dibulli), dan hanya 12 % customer yang peduli dan membela sang siswa SMP yang dibulli.

Bullying
Drakula menghisap darah; begitu pula anak-anak yang tak beradab.  Ayo bersama-sama hentikan bullying.

Dalam PSA anti-bullying itu, mereka menunjukkan bahwa kebanyakan pembeli akan protes bila burger yang disajikan kepadanya hancur akibat digebuki (dibulli) lebih dulu; tetapi dalam iklan itu tampak bahwa para pembeli tadi ‘diam’ saja saat melihat ada anak yang ‘digebuki’ oleh sang pelaku perundungan (yang dalam iklan itu menggunakan aktor).

Jelas ini sebuah cara kampanye yang menarik. Silakan simak iklan tersebut di YouTube ini (sekitar 2 menitan):

 

Bullying memang bukan cuma terjadi secara fisik. Selain secara fisik, setidaknya ada tiga macam bullying lain, yakni emosional (kadang disebut relational), verbal, dan (yang berkembang belakangan ini) cyber bulling melalui Internet (baca di sini).

Bullying n Bulls
Biarkan kerbau (bull) saja yang melakukan bullying — sedang kita, jadilah manusia.

 

Masalahnya dengan bullying itu tidak berhenti saat seorang anak dibulli. Sekitar 15 prosen remaja yang dibulli saat berusia 13 akan menderita depresi ketika ia menginjak umur 18 tahun (baca ini). Berbagai akibat buruk lain juga terjadi, seperti perasaan kesepian, dan kecemasan (anxiety).

Dan repotnya, penderita depresi itu merupakan kelompok yang kadang melakukan bunuh diri. Dengan kata lain, seorang anak yang dibulli sekarang, dapat membawa akibat buruknya selama hidup — dan para pelaku bullying itu tidak menyadari hal itu.

anti-bullying-quotes-09
Perundungan sering menyebabkan depresi; dan depresi mengakibatkan bunuh diri. Apa kamu (pelaku bullying) mau disebut pembunuh?

Cyber Bullying: Perundungan juga terjadi di dunia Internet. Menurut data UNICEF, 2014, setidaknya satu dari enam siswa (15 %) kelas 9 sampai 12 di dunia mengalami perundungan secara elektronik setiap tahunnya. Kunjungi situs ini jika Anda ingin ikut mencegah bullying (maaf, tulisannya masih dalam bahasa Inggris).

Baca juga tentang ‘Kekuatan Kata’ di artikel berikut (klik di sini).

 

 

 

PRASANGKA

Tentang PRASANGKA

“Prasangka” buruk adalah penilaian negatif terhadap sesuatu kelompok atau individu yg dilakukan sejak awal dan terus berlanjut walaupun faktanya tdk sesuai dgn penilaian tersebut…

Gordon W. Allport dalam ‘The Nature of Prejudice’ menyatakan bahwa prasangka merupakan pernyataan yang hanya didasarkan pada suka dan tidak suka, mendukung dan tidak mendukung, hingga pandangan yang emosional dan bersifat negatif terhadap individu atau kelompok tertentu.

Dalam pergaulan kita sering menyebut ada dua sangkaan, atau “dhonn”:

الضن

Husnu-dhonn (sangka baik), atau Su’u-dhonn (sangka buruk).

Tapi biasanya yg dimaksud ‘prasangka’ adalah yg “negatif” itu.

حسن الضن او سؤ الضن

Karenanya, prasangka merupakan salah satu “rintangan” komunikasi, atau “hambatan” bagi hubungan antar sesama; karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah curiga kepada orang lain.

Dalam prasangka (negatif), emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka tsb, tanpa menggunakan pikiran dan pandangan secara objektif.

Karena itulah, sekali dicekam prasangka (negatif), maka seseorang tidak akan dapat berpikir objektif dan segala apa yang dilihatnya akan dinilai secara negatif…

🍀💐🌺

Imam Ali bin Abithalib As

“Saat engkau berbuat baik pd orang lain, sesungguhnya engkau sedang menyempurnakan harumnya kepribadian, kehormatan serta nama baikmu sendiri..

*Jadi jangan menunggu org lain berterimakasih padamu, sedang kamu tidak berbuat, kecuali pada dirimu sendiri.”

 

 

Kanker itu Bernama Wahhabi

Awas mazhab ini, awas aliran itu. Si anu sesat, si polan kafir.
Itulah di antara ancaman-ancaman yang belakangan sering muncul di Indonesia ini. Sumber ancaman dan pengkafiran itu biasanya datang dari sekelompok orang yang mengikuti paham Wahhabi (atau Salafi) Takfiri, sebagaimana kita saksikan dalam berbagai media massa atau pun media sosial yang kini makin ramai. Di bawah ini sedikit ringkasan paham Wahhabi, sebagaimana dimuat dalam situs ini .

Baca juga: Ternyata, Ada 8 Mazhab Islam

Apa dan bagaimana Wahhabi.

Ulama Saudi abad 19
Ulama Saudi abad 19

 

Pencetus pertamakali sebutan nama WAHHABI adalah seorang bernama Hempher, seorang mata-mata kolonial Inggris yang ikut secara aktif menyemai dan membidani kelahiran sekte WAHHABI.

Tujuannya: untuk menghancurkan kekuatan ajaran Islam dari dalam, dengan cara menyebarkan isu-isu kafir-musyrik dan bid’ah.

Dengan fakta ini maka terbongkarlah misteri SIKAP WAHHABI yang keras permusuhannya kepada kaum muslimin yang berbeda paham. Itulah sebabnya kenapa ajaran Wahhabi penuh kontradiksi di berbagai lini keilmuan, dan kontradiksi itu akan semakin jelas manakala dihadapkan dengan paham Ahlussunnah Waljama’ah (ASWAJA).

Baca berita di Merdeka.Com berikut: “Wahhabi Kotori Kesucian Mekah dan Madinah“.
Dan satu lagi: “Umat Islam Mesti Memboikot Haji dan Umrah.”

Walaupun begitu, ironisnya mereka tanpa risih mengaku-ngaku sebagai kaum ASWAJA. Atas klaim sebagai ASWAJA itu, lalu ada pertanyaan yang muncul, sejak kapan WAHHABI berubah jadi Ahlussunnah Waljama’ah? Wajar jika pertanyaan itu muncul, sebab bagaimanapun mereka memakai baju Ahlussunnah Waljama’ah, ciri khas ke-wahabiannya tetap kentara sekali. Selain dinamakan Wahhabi, pengikut sekte ini juga sering disebut dengan ‘Salafi‘, ‘Najdi‘ atau ‘Ahlil Hadits‘.

Continue reading Kanker itu Bernama Wahhabi

Kekuatan Media Sosial

Benarkah media sosial bakal makin penting saat pemilu tahun 2014 mendatang? Boleh jadi. Bisa jadi pula, media konvensional seperti koran, televisi dan radio, tetap menjadi andalan para politisi untuk berkampanye saat itu.

Sekarang kita belum tahu pasti.Yang jelas, belakangan ini media sosial itu terasa kian berperan, khususnya setelah muncul pernyataan presiden awal Oktober lalu yang menyebut soal media baru itu dalam kasus KPK vs Polri. Barangkali inner circle SBY memang memonitor apa yang dibicarakan orang di media sosial. Boleh jadi mereka mendengar kicauan ramai di Twitter, salah satu microblogging paling riuh di Indonesia ini. Saat terjadi kericuhan mengenai isu pelemahan KPK itu, ratusan ribu atau jutaan pengguna Twitter menggalang aksi dukungan bagi KPK.

Save KPK : berkat media sosial

Para tokoh antikorupsi seperti Usman Hamid (Kontras), Illiandeta (dari ICW) dan Anita Wahid saling bahumembahumenggalangkekuatan bersama tokoh lain seperti Fadjroel Rachman, Anies Baswedan, Alissa Wahid, dan banyak lain-lainnya. Dari Twitter, kegiatan yang mereka lakukan merambah ke tempat lain. Di antara yang mereka lakukan, misalnya @hamid_usman menggalang kekuatan melalui situs change.org-nya,dan @Illiandeta menjadi salah satu motor pengerah massa ke depan gedung KPK dan bundaran HI. Continue reading Kekuatan Media Sosial

Mencari Suami

Alkisah, sebuah department store menjual calon suami baru diresmikan. Baru sampai di sini, si Kiwir tertawa ngakak:” huahaha…ada-ada saja. Toko jualan calon suami…”

Serasi sampai kakek-nenek: lelaki seperti apa yang ideal sebagai suami?

Benar. Menjual lelaki, calon pengantin pria. Bangunannya mewah, bertingkat enam. Segera sesudah dibuka, toko itu diserbu kaum wanita. (Mungkin karena sekarang ini lebih sulit cari calon suami ketimbang calon isteri, kaleee?)

Di situ para wanita single dapat memilih calon suami yg diinginkannya. Di setiap pintu, pada tiap lantai, terpampang instruksi yang menunjukkan bagaimana aturan main dan segala info bagi para calon pembeli.

Tulisan ini diilhami catatan teman saya Si Wie yang pernah menulis di Facebook-nya . Karena ada makna yang menarik di dalamnya, saya menggubah lelucon ini agar sedikit lebih seru.

Continue reading Mencari Suami

Ketika Ikan-ikan Ngumpul

Mengenang tsunami Aceh 26 Desember 2004, baiklah kita doakan ratusan ribu korban yang telah meninggal: semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa mereka dan memasukkan mereka dalam surga-Nya. Doa yang sama buat orang tua dan guru-guru kita, serta kita sendiri. Amin Ya Robbal ‘Alamin. Tulisan di bawah ini juga saya unggah kembali — karena mengaitkannya dengan bencana hebat yang menewaskan lebih dari 230 ribu tahun 2004 silam.

Ikan-ikan kumpul. Bukan, mereka tidak sedang arisan, sebab tidak semua mereka ikan perempuan, tapi ada banyak ikan laki-laki juga… maka kecil kemungkinan mereka ngariung untuk arisan… 🙂

Kakap, salmon, tuna, piranha, ekor kuning dan ribuan teman-teman mereka sedang prihatin. Mereka merenung tentang diri mereka, tentang air, tentang lautan. Tentang alam…

Hari itu, 26 Desember – persis dua hari sesudah ulang tahun air laut menggunung, dan tsunami memporak-porandakan Aceh dan sekitarnya, 24 Desember 2004. Lebih 200 ribu orang meninggal atau hilang. Inna lillahi wa inna ilaihi rooji’uun…

Hari itu para ikan di Samudera Indonesia kumpul di hadapan pemimpin mereka, Presiden SBA. (Jangan berpikir ‘neko-neko’, SBA itu bukan salah ketik atau bermaksud memplesetkan singkatan lain, maksudnya Syafiq Basri Assegaff, yang nulis catatan ini.)

Continue reading Ketika Ikan-ikan Ngumpul

Memuaskan Bos atau Karyawan?

Syafiq Basri Assegaff.

Tulisan asli dapat dibaca di Inilah.Com, 15 Desember 2011.

Ini adalah tentang komunikasi di tempat Anda bekerja. Tentang komunikasi internal. Boleh jadi Anda akan mengaitkannya dengan organisasi semacam PSSI, yang pelatihnya, Rahmad Darmawan, belum lama ini mengundurkan diri.

Kalau pun begitu, mungkin Anda tidak keliru. Sebab tampaknya komunikasi internal memang merupakan kunci penting keberhasilan setiap organisasi.

Dengan kata lain, sesungguhnya komunikasi di dalam lembaga, sekolah, perusahaan atau organisasi apa pun, adalah sedemikian penting bila manajemen ingin punya reputasi dan unjuk kerja (performance) yang tinggi.

Bahkan juga di perusahaan media, tempat yang lazimnya punya suasana amat demokratis, komunikasi antara wartawan dan pimpinan juga mesti dipupuk dengan baik.

Ini perlu digaris bawahi, sebab pengamatan sejauh ini menunjukkan adanya kekuatiran di kalangan wartawan sendiri bahwa komunikasi di kantor mereka masih perlu ditingkatkan. Itu yang pertama.

Kedua, berhubung kini perusahaan media tumbuh makin semarak, maka otomatis masalah komunikasi yang sehat di dalam perusahaan media juga makin harus diperhatikan. Jangan sampai orang-orang yang bekerja di lembaga yang menjadi salah satu pilar demokrasi itu terganggu atau lupa pada perlunya suasana komunikasi yang sehat dan terbuka. Continue reading Memuaskan Bos atau Karyawan?

Di Mana Wajah Tuhan?

Alkisah, serombongan pendeta datang ke Madinah. Mereka bertanya kepada Khalifah Abu Bakar tentang Nabi saww dan Kitab yang dibawanya – Al-Qur’an.

Abubakar berkata,”Betul, telah datang kepada kami Nabi kami dan ia membawa Kitab suci.”

Lalu terjadi dialog berikut:

+ Adakah dalam Kitab Suci itu disebut wajah Allah?
– Betul.
+ Apa tafsirnya?
– Ini pertanyaan yang terlarang dalam agama kami. Nabi saw tidak menjelaskannya kepada kami.

Para pendeta itu tertawa sambil berkata,”Demi Allah. Nabi kamu itu hanya pendusta belaka. Dan kitab sucimu itu hanyalah kepalsuan dan kebohongan saja.”

Ketika keluar dari situ, Salman Al-Farisi mengajak mereka menemui Imam Ali bin Abithalib a.s., ‘pintu kota’ ilmunya Nabi saw.

Kepadanya, para pendeta mengajukan pertanyaan yang sama.

Ali lalu berkata,”Aku akan menjawabnya dengan demontrasi, tidak dengan ucapan.”
Lalu ayah Imam Hasan dan Husain a.s. itu memerintahkan agar dikumpulkan kayu bakar dan ia pun membakarnya.

Api menyala-nyala dari unggun kayu bakar.

Continue reading Di Mana Wajah Tuhan?

Ini Rahasia Memenangkan Pemilu

Dalam artikel opini yang ditayangkan Detik (pada Senin 4 Desember 2023) berikut ini, Anda dapat mempelajari bagaimana para politisi itu memenangkan pemilu.

Emosi publik digugah ketika seorang calon presiden melakukan gerak tari yang gemoy di panggung. Emosi kita juga terpantik mengikuti peristiwa di Mahkamah Konstitusi (MK). Keriangan lewat hiburan lucu, juga rasa keadilan yang terusik dan kepercayaan rakyat yang merosot, semuanya adalah soal emosi. Berbeda dengan hitung-hitungan proyek infrakstruktur yang merupakan urusan kognisi, kita paham bahwa keadilan dan kepercayaan adalah perkara emosi. Juga kekesalan, bahkan marah karena merasa dikhianati (jika ada), juga urusan perasaan.

Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto, misalnya, mengusap airmatanya saat diwawancarai Akbar Faizal dalam podcast-nya, sehingga rekaman video yang tayang pada 9 November lalu itu diberi judul, “Tangisan Hasto Kristiyanto Untuk Jokowi: “Pak Jokowi Harus Tau Sisi Gelap Istana.”

Memang belakangan kita menyaksikan banyak drama dalam dinamika menjelang Pemilu 2024. Presiden Jokowi pun pernah bilang bahwa politik lebih banyak diwarnai perasaan dan bukan adu gagasan. Singkatnya banyak ‘drakor’ dituntukkan politisi. Ada yang geram, sedih, marah, kecewa, tetapi ada yang senang dan tertawa.

Semuanya adalah perkara emosi. Kita juga menyaksikan suguhan emosi teramat keras pada tragedi pembantaian ribuan anak tak berdosa di Gaza, Palestina.

Lazim dalam drama politik, pihak yang merasa dirugikan mengkapitalisasi peristiwa itu guna mencari simpati publik, bahkan memainkan taktik “playing victim.” Pada pemilihan presiden Amerika Serikat 2016, Donald Trump menggunakan strategi pemantikan emosi, bergaya seolah jadi korban demi menarik simpati pemilih kulit putih. Israel pun berlagak menjadi “korban” serangan Hamas.

The Public Religion Research Institute dan The Atlantic Monthly menyatakan, ketakutan pemilihlah yang mengantarkan Trump ke Gedung Putih — bukan kesulitan ekonomi (Zhang & Clark, 2019). Pemilih kelas pekerja kulit putih mengatakan sering merasa seperti “orang asing di negeri sendiri” dan percaya bahwa AS perlu dilindungi dari pengaruh asing. Mereka 3,5 kali lebih cenderung mendukung Trump daripada mereka yang tidak memiliki kekhawatiran ini.

Trump menciptakan retorika dengan mengombinasikan rasa takut dan kepercayaan, sehingga orang kulit putih Amerika yang takut pada liyan (orang lain) dan yakin adanya ancaman pada budaya mereka, menjadi tidak peduli apakah argumen Trump masuk akal atau tidak.

Para pelaksana kampanye politik di AS tahu persis bahwa kampanye tak bisa dimenangkan hanya dengan mengemukakan fakta. Khususnya di zaman digital, ketika “medan perang” kampanye makin bergerak ke media sosial, berita online, YouTube, dan blog. Tim sukses Trump sangat memahami pentingnya peran emosi. “Dua pendorong dasar bagi manusia untuk menerima informasi adalah harapan dan rasa takut. Sering keduanya tidak disebutkan dalam kata-kata dan bahkan tidak disadari,” kata Mark Turnbull dari Cambridge Analytica. “Kampanye pemilu tidak bisa hanya mengandalkan fakta, sebab kenyataannya semua adalah persoalan emosi,” tambah Turnbull. Maka wajar dalam kampanye Trump tampil sebagai korban (playing victim) akibat ancaman terhadap diri mereka, dan upaya ini berhasil.

Memantik emosi publik

Simpati publik merupakan emosi—sebagaimana rasa sedih, marah, gembira, dan sebagainya. Kehidupan kita diwarnai emosi. Peristiwa emosinal lah yang paling terekam dalam perjalanan hidup kita, seperti saat pertama kali menemukan kekasih atau ketika ditinggal orang yang disayangi.

Emosi sendiri adalah keniscayaan, sesuatu yang sangat manusiawi. Paul Ekman (2003) misalnya, menjelaskan adanya tujuh emosi dasar yang tampak pada wajah manusia secara universal, seperti gembira, sedih, marah, takut, dan jijik. Tentu banyak variasi emosional di antaranya seperti perasaan cemas, cemburu, harapan, simpati, lega, dan sebagainya, walakin dalam komunikasi politik dan kehidupan sehari-hari, para ahli retorika menjelaskan bahwa, seseorang hanya bisa mempersuasi publik apabila berhasil memantik emosi mereka.

Memang ada unsur lain dalam persuasi, seperti kredibilitas, karisma, dan argumen logis misalnya yang didukung data valid, tetapi semuanya hanya bisa efektif kalau komunikator  berhasil memantik emosi publiknya. Boleh jadi seorang politisi menunjukkan pembicaraan persuasif guna menguatkan sebuah sikap, mengubah keyakinan, atau menggerakkan publik untuk bertindak, walakin banyak penelitian yang merujuk pada pemikiran Aristoteles (384-322 SM) menegaskan bahwa, ajakan logis (logical appeals) dan ethos (credibility appeals) saja tak akan berhasil bila tidak disertasi dengan pemantikan emosi terhadap audiens.

Apabila appeal emosional dan appeal logis sama-sama digunakan untuk mencapai tujuan pembicaraan persuasif secara efektif, biasanya audiens akan lebih dulu merespon konten emosional, baru kemudian memeriksa bukti-bukti logisnya. Mengombinasikan emosi dan logika dapat menggandakan dampak. “Ajaklah calon pemilih untuk tertawa, menangis, bersimpati, atau marah lebih dulu, baru setelah itu tunjukkan alasan logis yang mendukung emosi tadi.”

Appeal logis merupakan urusan kognisi, didasarkan pada pengetahuan dan alasan, memerinci cara orang berpikir. Melalui bukti-bukti, appeal logika mengajak audiens untuk mengambil kesimpulan dari informasi. Appeal emosi adalah perkara perasaan, afeksi. Appeal emosional (pathos) didasarkan pada psikologi dan semangat (gairah), menjelaskan cara “merasakan” sesuatu.

Persuasi bahkan terjadi juga dalam retorika digital melalui pemanfaatan hypertext sebagai titik pusat (focal point) sebuah jejaring. Hasil penelitian disertasi penulis sendiri membuktikan bahwa, tiga dokter influencer di media sosial berhasil mengubah niat hidup lebih sehat 581 followers mereka berkat pemunculan emosi positif dalam diri para pengikut.

Emosi dalam politik

Dalam politik, Bung Karno, Mandela, Malcolm X, dan Obama dipersepsi audiens sebagai pembicara karismatik. Mereka memukau berkat kemampuan mengirim sinyal verbal dan nonverbal, dinamis, penuh energi, dan antusiasme, sehingga memperoleh perhatian audiens, dianggap kompeten, dan kredibel.

Bung Karno saat pidato (sumber foto: blog cintamerahputih)

Tetapi, karisma saja tidak cukup. Kredibilitas juga membutuhkan ekspertise dan keterpercayaan (trustworthiness). Semuanya membentuk ethos sang tokoh di depan audiens. Jika ethos lemah, audiens tidak akan menghormatinya, sehingga dia sulit mempersuasi massa, terlepas dari segala appeal logis dan emosional (pathos) yang digunakan. Sebaliknya, meski sang tokoh punya ethos kuat dan menerapkan berbagai alasan logis, ia belum bisa “menggerakkan” audiens jika tidak mampu memantik emosi.

Dalam politik, pada akhirnya pemantikan emosilah yang paling berperan. Itu sebabnya tiap kali pemilu banyak orang memilih berdasarkan alasan emosional ketimbang landasan logis. Tak heran kalau kemudian perencanaan program masa depan seolah tersingkirkan dalam perebutan suara oleh para kontestan pemilu.

Fakta dan alasan saja tidak cukup

Kini teknologi informasi menyediakan lebih banyak fakta. Terdapat ratusan juta situs di Internet, dan sekitar 99 ribu searches di Google setiap detik. Tetapi, tanpa ada pemantikan emosi, argumen rasional yang cuma didukung fakta tidak bisa mempersuasi atau menggerakkan kita. Banyak studi menunjukkan bahwa fakta dan alasan (reason) tidak bisa menjawab masalah. Ketika harus mengambil keputusan, akses pada informasi yang reliable tidak selalu dapat menghasilkan keputusan yang rasional dan tepat. Barangkali itu sebabnya angka-angka polling belum bisa memastikan hasil akhir pemilu.

Ketika menganalisis pengambilan keputusan dan keterbukaan terhadap persuasi, orang mesti menyadari bahwa otak manusia bukan hanya sekadar sebuah organ. Ada empat bagian otak yang bekerja pada waktu berbeda: wilayah reptilian brain (yang bertanggungjawab pada fungsi vital); otak tengah (di antaranya mengatur tidur dan motivasi); sistem limbic yang penting dalam fungsi emosi; dan cortex yang di antaranya bertanggungjawab mengurusi abstraksi pemikiran dan perencanaan. Ibarat konser, semua bagian otak itu bekerja dalam kebersamaan, sehingga mustahil bagi kita memisahkan pikiran rasional dari emosi.

Dari sudut pandang politik, retorika afektif sangat penting untuk menentukan cara informasi diproses dan suasana hati digunakan oleh para politisi untuk menghasilkan identifikasi, atau bayangan mereka akan diingat seperti apa oleh calon pemilih. Banyak studi menyimpulkan bahwa kandidat presiden yang berhasil menggunakan bahasa emosional dan komunikasi karismatik lazimnya lebih unggul dalam mempengaruhi pemilih.

Tampilan afektif tidak dapat dihindari dalam politik saat ini, dan telah terbukti lebih mempengaruhi pemilih daripada afiliasi partai atau ideologi kandidat. Itu pula sebabnya banyak politisi yang juga menunjukkan image afektif sebagai orang yang sangat mencintai pasangannya (atau terlalu menyayangi anaknya) di depan umum.

###

Ketika Keisha Bertemu Dokter yang Mengoperasinya 15 Tahun Lalu

Pernahkah Anda bayangkan, dokter yang mengoperasi dan menyelamatkan nyawa saat Anda bayi kini ada di depan mata? Di bawah ini cerita pendek tentang Keisha, yang dibawa ibunya menjumpai sang dokter yang menyelamatkan jiwanya 15 tahun silam. Begini kisahnya:

Tiga hari sesudah melahirkan, dokter Devi Galangi diberitahu bahwa anaknya mengalami hernia diafragma, yakni adanya semacam “lubang” pada organ yang membatasi rongga perut dan rongga dada. Waktu itu usia bayinya baru 3 hari. Masih merah, dan sangat fragile. Namanya Keisha. Akibat hernia diafragma itu organ lambung dan ususnya naik ke atas, mendesak jantung dan paru-paru yg ada dalam rongga dadanya, sehingga dikuatirkan dapat mengancam nyawanya.

Syukur alhamdulillah, operasi berjalan lancar.

Meski Keisha harus terus dimonitor, tapi berkat perhatian sang ibu, Keshia terus tumbuh menjadi anak yg sehat. Dia lincah dan pintar pula. Kini Keisha sudah jadi gadis cantik berusia 15 tahun.

Tidak diduga, Minggu siang (17 September 2023) lalu Devi ketemu dengan dokter Alexandra, ahli bedah anak yang mengoperasi Keisha 15 tahun silam. Saat itu, Alex yang juga alumnus FK Unpad, ikut acara reuni di villa Dr. Hasmoro, Pasir Muncang, Caringin, Bogor itu. Acara itu dihadiri 100-an orang, termasuk saya yang nulis ini.

Pada awalnya adalah Ketua Ikatan Alumni Fakultas Kedokteran (FK) Unpad, dr. Lia Gardenia Partakusumah yang menjadi penyebab pertemuan itu. Awalnya begitu Devi (sang ibu) mendengar pembawa acara menyebut nama dr. Alexandra , ahli bedah anak RSAB Harapan Kita, ia langsung bicara dengan dr. Lia. Maka Ketua IKA FK Unpad itu langsung menjelaskan tentang dr. Alex yang lama dikenalnya. Akhirnya, dr. Lia minta mereka maju ke depan untuk saling bertemu, disaksikan pada peserta reuni yang lain. Lia juga lah yang mendorong Keisha yang tadinya malu-malu, untuk maju ke depan, menemani ibunya.

Ketua IKA FK Unpad, dr. Lia Gardenia Partakusumah di acara reuni FKUP, 17 Sept 2023

Maka, bertemulah Devi yang lulusan FK Unpad dan bekerja di RS Hermina Galaxy (Bekasi) dengan dokter Alexandra.

Ketika maju ke depan, Devi bercerita pada Alex, rekan sejawatnya itu, lalu dan menunjukkan si cantik Keisha pada Alex. Devi hendak mengungkapkan rasa syukur dan terimakasih pada sang dokter bedah anak itu.

Cerita ini juga dimuat di Instagram berikut (klik di sini).

Dokter Alexandra (tengah) bersama rekan-rekan dokternya saat reuni, 17 September 2023.

Sedikit tentang Hernia Diafragma.

Belum ada data berapa sering hernia diafragma bawaan lahir (congenital diaphragmatic hernia, CDH) di Indonesia, tetapi data di AS menunjukkan bahwa CDH ditemukan pada 1 dari 3.000 bayi baru lahir, dan lebih sering banyak terjadi pada bayi laki-laki.

Spellar et al. (2023) menulis di papernya bahwa insidensi CDH diperkirakan berjumlah antara 0,8 sampai 5 di antara 10.000 kelahiran. (Cek artikel Spellar et al. di sini).


Di samping CDH (seperti yang terjadi pada Keisha), ada pula jenis hernia diafragma lain yg terjadi misalnya akibat kecelakaan. Jenis “acquired diaphragmatic hernia” (ADH) ini jumlahnya mencapai 0,8-3,6% penderita yg mengalami trauma tumpul, misalnya akibat pukulan (atau kecelakaan) atau luka tajam akibat sesuatu yang menembus dada dan perut.

Meski jarang, tapi ADH bisa menyebabkan organ saluran pencernaan terjepit atau tercekik (strangulation) sehingga mengancam nyawa penderitanya. Angka kematiannya mencapai hingga 31%.
(Spellar et al, 2023). Oleh karena itu diagnosis yang tepat dan tindakan cepat harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa pasien.

Pernahkah Anda “Terjebak”?

Pernahkah Anda (merasa) terjebak? Seperti apa pengalaman Anda? Di bawah ini sedikit cerita saya.

Pada 6 Maret 2023 saya diundang teman ngopi-ngopi. Awalnya mau ketemu di sekitar Kuningan, Jakarta, tetapi kemudian dipindahkan ke sekitar Senayan. Saya pikir tadinya mau ngobrolin soal disertasi. Kebetulan pada saat itu kawan tadi — sebut saja namanya “W” — baru lulus sidang promosi doktor, sedangkan saya sedang mengejar ujian menyusulnya, sehingga maksud saya bisa tanya-tanya soal ujian itu padanya sebagai “kakak kelas.” (Alhamdulillah sejak 16 Agustus lalu saya sudah promosi doktor).

Tetapi di luar dugaan saya ia rupanya mengajak beberapa kawannya, yang belakangan baru saya ketahui bahwa, mereka itu adalah ‘upline‘ W di bisnis MLM yang ditawarkan pada saya. Singkat cerita, mereka pun melakukan presentasi sebuah bisnis yang katanya sangat bagus, produknya berkaitan dengan AI yang sekarang lagi ngetren. Ajakan dengan berbagai bumbu yang sangat menarik itu seolah menghipnotis saya. Dalam waktu relatif singkat, mereka berhasil memasukkan saya ke dalam jaringan usaha yang namanya adalah Talk Fusion. Rasanya saya telah “tersihir”. Sebelumnya saya memang merasa tenang karena adanya kawan W di situ. Juga pada saat diberitahukan ada kawan lain (sesama bekas wartawan) di dalamnya, saya pun sempat menelponnya di depan W. Kawan ex wartawan tadi pun meyakinkan saya. “Udah buruan masuk, segera transfer aja,” katanya dari balik telepon.

Ada sebuah blog dalam bahasa Indonesia yang membicarakan soal Talk Fusion ini. Dibuat beberapa tahun silam, blog atas nama Maxmanroe itu masih terus aktif sampai sekarang, dan menerima komentar banyak orang, pro dan kontra. Klik saja di tautan ini.

Walhasil, saya pun mentransfer uang ke rekening bank swasta yang diberikan “CP,” atasan (upline) W. Ternyata itu nomor rekening seseorang bernama “KS,” bukan nama perusahaan. Jumlahnya sekitar 36 juta rupiah, yakni setara US$ 2.000.

Sebelumnya, pada saat presentasi CP menunjukkan berbagai produk Talk Fusion yang juga tersedia dalam aplikasi “Suite” yang ada di Play Store Android HP kita. Produk yang ada di situ, antara lain adalah video conferencing, aplikasi meeting yang katanya lebih efisien daripada Zoom, dan lain-lain.

Bila melihat berbagai situs Talk Fusion seperti Facebook dan Twitter, tampak ada macam-macam aktivitas, tetapi tidak sebanyak yang diharapkan bagi sebuah perusahaan yang mengklaim dielu-elukan bisa membuat para partner yang bergabung menjadi kaya-raya. Dalam laman Facebooknya, misalnya, lebih banyak berisi propaganda yang mirip company profile perusahaan. Komentar pada konten yang diunggah dari followers (yang jumlahnya 64 ribu) juga rata-rata hanya dua sampai lima saja, kecuali saat ulangtahun Bob Reina, pendiri Talk Fusion pada 31 Mei 2023, yang meraih 17 komentar. Followers Talk Fusion (yang menyebut dirinya sebagai internet company) di Facebook berjumlah 64 ribu. Jangan menyatarakannya dengan raksasa seperti Alibaba atau Amazon yang mengantongi berjuta-juta followers, tetapi bandingkan saja dengan perusahan internet company lain seperti Baidu (China) yang mencapai 177 ribu followers, atau Naver (Korea) yang mengantongi 144 ribu followers. Tidak salah, sebab nama Talk Fusion belum masuk dalam daftar 105 perusahaan internet companies kelas dunia yang disajikan Wikipedia (klik di sini).

Alhasil, saya kemudian meneliti situs Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang sampai hari ini salah satu informasi yang masih bertengger di laman OJK adalah peringatannya mengenai Talk Fusion ini (dimuat dalam mengenai siaran pers OJK yang berjudul), “Satgas Waspada Investasi Perintahkan Talk Fusion Segera Hentikan Kegiatan,” yang bisa dilihat melalui tautan berikut ini.

Halaman Facebook Talk Fusion

Sekitar seminggu sesudah pertemuan 6 Maret itu saya mulai tanya-tanya, dan mencari informasi dari sana-sini. Ternyata di Internet banyak berita negatif soal ini dari berbagai media yang dipublikasikan mulai 2017. Di antara berita itu adalah:

  • Berita di Metro TV ini (tayang pada 13, Oktober 2017) hingga kini telah ditonton 46.485 kali. Judul dalam video yang sudah diunggah di YouTube itu adalah: “Kisruh Investasi Talk Fusion.” Seorang penonton YouTube itu (akun @elge4650) pada dua tahun lalu (yakni 2021) mengatakan bahwa, “Yang paling banyak menjadi korban TF ini justru teman dekat dan keluarga sendiri. Karena teman atau keluarga sendiri, maka jarang ada yang melapor ke polisi melainkan didiamkan saja.
  • CNN, september 2017: Iming-iming Merdu Pepesan Kosong, yang antara lain mengatakan bahwa, produk yang dijual oleh perusahaan asal Amerika Serikat itu tak berfungsi. CNN juga mengutip pernyataan seorang dokter yang mengklaim dirinya menjadi salah satu korban.
  • Detik, 28 Februari 2018: Sejumlah WNI di Melbourne merasa ditipu Talk Fusion (klik di sini). Macam-macam cerita para warga itu, yang intinya semua mengeluh, merasa dihipnotis, ditekan dan dirayu oleh teman yang mengajak mereka bergabung masuk dalam bisnis itu dengan menyetor uang (saat itu) sekitar $ 5.000.
  • Pada 16 September 2017 Merdeka.com, menulis antara lain bahwa, Ratusan orang merasa tertipu investasi MLM Talk Fusion. “Perusahaan yang didirikan di Tampa Florida Amerika Serikat sejak tahun 2007 ini masuk ke Indonesia pertama kali pada tahun 2012 yang dibawa oleh Mario Halim dan Marselinus Halim,” tulis Merdeka. Seluruh kegiatan Talk Fusion diselenggarakan oleh perusahaan Indonesia, V Trust. Lewat pemasaran tersebut para korban dijanjikan mendapatkan keuntungan jika berhasil merekrut anggota baru. Saat itu, Perwakilan korban, Azis Asopari mengatakan dirinya bersama ratusan warga lainnya merasa tertipu dengan investasi yang diikutinya di Talk Fusion. Talk Fusion dikatakannya adalah perusahaan MLM yang menjual aplikasi informasi dan teknologi. Aziz mengatakan, bersama korban lainnya merasa tertipu karena ternyata perusahaan ini belum memiliki izin. Bahkan oleh OJK perusahaan ini dirilis sebagai perusahaan investasi bodong oleh OJK pada Januari 2017 lalu.

Sesudah menerima berbagai informasi dari media dan tanya kanan-kiri, saya pun memutuskan untuk mundur dari Talk Fusion dan minta uang saya dikembalikan. Saya hubungi W dan CP melalui WhatsApp mereka dan menanyakan beberapa, di antaranya: (1) bagaimana caranya agar uang saya dikembalikan; (2) mengapa tidak ada kontrak tertulis semacam terms & conditions yang saya tandatangani; dan (3) mengapa waktu itu saya harus mentransfer uang ke nama pribadi seseorang yang tidak saya kenal (yakni “KS”) dan bukan kepada perusahaan (siapakah orang itu)? Untung bukti transfer uang itu masih saya simpan sampai sekarang. Sangat disayangkan, sampai sekarang ketika saya menulis ini, tetap tidak diberikan jawaban. Yang ada mereka minta saya atur waktu untuk bertemu agar mendapat penjelasan. Saya bilang, “jawablah dulu pertanyaan saya, dan nanti saya akan lihat apakah masih perlu bertemu atau tidak.

Saya bertanya-tanya ketika membaca berita-foto yang diunggah Sindonews (20 November 2017) ini. Di situ disajikan foto ketika Manajer Operasional PT Talk Fusion Indonesia (TFI) Rioavianto Soedarno berbincang dengan dua associate Talk Fusion di sela acara HERO 2017 yang digelar TFI di Econvention, Ancol, Jakarta, Minggu (19/11/2017). TFI sebagai perwakilan Talk Fusion Inc yang menjalankan bisnis penjualan langsung di bidang cloud service secara resmi beroperasi di Indonesia seiring dikeluarkannya Surat Izin Usaha Penjualan Langsung (SIUPL) oleh Kementerian Perdagangan RI pada pertengahan November lalu. << Pertanyaan saya, apakah perwakilan Talk Fusion itu bernama PT TFI, atau PT Teknologi Bumi Indonesia, sebagaimana yang dimuat pada media lain (lihat yang di bawah)?

Berita yang bernada positif juga ada. Misalnya yang ditayangkan Jatimtimes pada 12 Oktober 2022 ini (klik di sini), yang antara lain menyitir ungkapan dari Bob Reina tentang produk baru “Fusion Cloud,” yang merupakan penyimpanan data tak terbatas dan dilengkapi standard keamaman militer. Di samping itu, sebuah berita yang diunggah Liputan6 pada 7 September 2021 ini menunjukkan bahwa PT Teknologi Bumi Indonesia menerima penghargaan MURI pada 9 Agustus 2021, dan diterima Direktur PT Teknologi Bumi Indonesia, Charles. (Ya, namanya hanya ditulis Charles saja, tidak pakai nama belakang atau family name). [Catatan: sebagai mantan wartawan saya heran, “mengapa peristiwa bulan Agustus baru ditayangkan sebulan kemudian?”]

Ada beberapa berita lain yang diunggah Liputan6 terkait Talk Fusion ini. Di samping yang di atas, pada 6 Oktober 2017 media itu menayangkan kabar bahwa Usai OJK, BKPM Minta Talk Fusion Setop Penjualan Produk.

Kemudian, kalau suka bahasa Inggris, dalam review di glassdoor ini, terdapat berbagai pendapat pro yang datang dari “orang dalam” dan penilaian kontra dari orang yang lebih kritis.

Dari Twitter Talk Fusion (29 April 2023): (katanya) 56 % pemimpin keuangan perusahaan (CFO) akan menggunakan video conferencing demi mengurangi perjalanan yang tidak perlu.

Sebagaimana ditulis di atas, sebuah blog dalam bahasa Indonesia yang lumayan kritis membicarakan soal Talk Fusion ini, adalah blog atas nama Maxmanroe. Blog itu dibuat beberapa tahun silam, tetapi sampai kini masih terus aktif menerima komentar banyak orang, pro dan kontra. Diberi judul, “Talk Fusion Indonesia: Bisnis MLM atau Money Game?,” di bawah ini mari kita kutipkan sebagian ulasan yang ada dalam blog itu, antara lain:

Dari sudut pandang pebisnis dan sudut pandang konsumen. Beberapa kekurangan dari bisnis TF ini di antaranya: biaya bergabungnya yang terlalu mahal. Biaya membership yang memberatkan, padahal belum tentu produknya digunakan semua member. Produk yang ditawarkan TF bisa ditemukan pada layanan lain yang dapat digunakan secara gratis dengan kualitas lebih baik. Saya sudah lama STOP menjalankan MLM Talk Fusion. Alasannya, saya sangat kesulitan menjual produk dan bisnis Talk Fusion karena SEMUA teman yang saya tawarkan bisnis ini menganggap produknya kemahalan dan tidak worth it. Selain itu, layanan lain yang punya fitur sama bisa didapatkan secara GRATIS dimana kualitasnya justru lebih baik.  Kesimpulan saya, bisnis ini not recommended untuk orang yang ingin punya bisnis jangka panjang, tapi cocok untuk para oportunis.

Blog Maxmanroe.
halaman blog maxmanroe (klik di sini).

Memed Mahambra menulis bahwa ia pernah ditawari TF dan sempat menghadiri acara BBO (Building Busines Online) di Surabaya. Tiket masuk Rp.70 ribu plus biaya pesawat pp plus biaya hotel totalnya sekitar Rp. 2,5 jutaan. Saya berharap di sana bisa mendapatkan info lengkap ttg produk TF dan manfaatnya. Namun ternyata saya kecewa krn mereka hanya menampilkan keberhasilan dan kehidupan mewah para anggotanya yg “katanya” sdh berhasil dalam bisnis ini. Selanjutnya lihat yang ditulis Memed Mahambra di bawah.

Berikut yang ditulis Memed Mahambra di blog Maxmanroe itu:

  • Pembahasan tentang cara menggunakan produk TF sama sekali tidak disampaikan dalam acara tersebut. Akhirnya saya pulang tanpa mendapatkan gambaran apapun tentang TF kecuali iming2 menjadi kaya raya jika ikut didalamnya.
  • Saya juga beberapa kali meminta kepada teman yg mengajak saya untuk memperlihatkan fitur produk TF dan fungsinya melalui gadgetnya tetapi dia tdk pernah bisa memperlihatkan dengan alasan saat ini belum bisa digunakan krn menunggu era 4G yg menjadi platform produk ini. Dari pengalaman saya tersebut, bisnis TF ini dapat sy simpulkan sbb:
  1. Produk yg ditawarkan MLM ini sifatnya “absurd”. Setelah membayar mahal harga paket dan biaya bulanan, Anda tdk mendapatkan apa2 (bodong). Fitur yg ditayangkan di atas sama sekali tdk terbukti adanya.
  2. Untuk mengembalikan uang, anda terpaksa melanjutkan “kebohongan TF” agar bisa menjerat orang lain (tak peduli teman, kerabat atau siapapun). Jangan heran jika anda mempertanyakan produknya mereka selalu menyuruh untuk bergabung dulu kedalamnya. Bisnis ini sangat kejam dan sadis.
  3. Tentang sistem pembayaran bonus 3 menitan (yg menjadi andalan mereka) dapat saya jelaskan sbb:
    • Rekening yg menampung bonus bukanlah rekening bank yg sesungguhnya tapi hanya rek bayangan (Virtual Account) yg secara legal tetap miliknya Bob Reyna. Anda hanya diberi kewenangan untuk menggunakannya melalui kartu yg diterbitkan oleh Visa.
    • Itulah sebabnya “ting tong” bisa terdengar di gadget anda dlm 3 menit krn “uang bonus” tdk perlu ditransfer tetapi hanya dicatat di dalam Virtual Account tsb. Dana /saldo sesungguhnya tetap ada dlm rek bank a/n Bob Reyna dan sama sekali tidak berpindah atau ditransfer ke rek anda.
    • Dengan sistem ini kontrol atas Virtual Account tsb sepenuhnya ada pada Bob reyna. Artinya bisa dibuka atau ditutup sewaktu-waktu. Perusahaan MLM yang sejati akan meminta nomor rekening bank Anda dikirimkan kepada mereka untuk transfer bonusnya.

Seorang penanggap lain, bernama Frans Umbu Datta, pada 2 Maret 2023 lalu menulis di blog itu (dengan beberapa salah ketik di dalamnya). Berikut ini sebagian petikannya: Yg dimaksuf bekerja di TF “adalah mengumpulkan teman dan sahabat sebanyak-banyak untuk ambil uang mereka dan serahkan kpd Bob Reina, pemilik Talk Fusion [… ] biaya sewa video mail luar biasa mahal [… ] SAYA TELAH TERTIPU DUA KALI. Baru2 ini Jan 2023 krn saya diajak teman saya, saya kehilangan lg 40 juta rupiah,uang hasil keringat yg diperoleh susah paya, hilang bgt sj […] Kartu ATM VISA yg dijanjikan sd saat ini tdk kunjung dtg… Saya adalah tipe org yg sangat sulit “memasarkan“ TF ke org lain krn berat tanggugan moralnya ketika krn saya, org yg tertarik masuk ke MLM TF kemudian merasa saya yg tipu dan kehilangan uang bgt sj. KARENA ITU SAYA TIDAK AKAN REKOMENDASIKAN, KEPADA SIAPAPUN, walaupun katanya sdh ada ijin OJK setelah tahun 2017. Ada ijin atau tidak, ini MLM yg tdk jual produk tp menyewakan produk dg biaya sangat tinggi.

Dokter, Influencer dan Emosi Anti Ambyar

Tulisan aslinya ada pada tautan ini (Detikinet).

Jakarta – Sekitar 84% followers menaati pesan dokter di media sosial, apabila kontennya menyenangkan mereka. Ya, bisa dibilang dokter saat ini juga berperan sebagai influencer ketika sudah terjun ke sosial media. Mereka tak cuma dituntut untuk memberi informasi sesuai kapabilitasnya, namun juga bak menjadi juru selamat anti ambyar.

Kata ‘ambyar’ dalam bahasa Jawa sering digunakan untuk menggambarkan perasaan hancur, rusak, atau hilang secara emosional. Dalam konteks musik atau seni pertunjukan Jawa, ‘ambyar’ dapat merujuk pada ekspresi perasaan yang mendalam dan intens.

Artikel di Detik 22 Agustus 2023.

Studi yang saya lakukan meneliti sejumlah 673 konten tiga orang dokter yang menjadi influencer (pemengaruh) di Instagram menunjukkan 487 dari 581 followers yang mengikuti survei (atau 84 %) berniat untuk mengubah sikap untuk hidup lebih sehat, apabila pesan yang disampaikan para dokter itu membuat mereka merasa gembira – alias anti ambyar. Terbukti kebanyakan followers juga beranggapan bahwa ketiga dokter jarang menggugah emosi negatif yang bikin perasaan ambyar.

Penelitian dilakukan terhadap unggahan ketiga dokter di Instagram selama 10 bulan, mulai Maret sampai dengan Desember 2020, periode ketika pandemi COVID-19 sedang memuncak.

Hal ini saya paparkan dalam promosi doktor ilmu komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid, Rabu (16/8/2023) lalu. Melalui metode campuran dalam disertasi yang berjudul, “Kompetensi ‘Emotional Appeals’ Dokter sebagai Influencer Instagram pada masa Pandemi COVID-19,” saya menggabungkan antara survei terhadap 581 followers Instagram dengan analisis konten dan wawancara terhadap tiga dokter influencer.

Ketiga dokter yang menjadi narasumber itu adalah ahli penyakit dalam dr Adaninggar Primadia Nariswari SpPD (Surabaya), ahli kedokteran olahraga dr Andhika Raspati (Jakarta) dan bintang televisi dr Lula Kamal.

Emosi positif seperti rasa senang atau gembira yang muncul dalam diri followers menyebabkan mereka mau memberi komentar dan lambang hati (likes), yang merupakan tanda adanya engagement (keterikatan) antara kedua belah pihak.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketiga dokter menerapkan strategi persuasi yang efektif. Hasil survei meneguhkan hal itu, di mana unggahan (konten) ketiga dokter di Instagram berhasil memantik emosi positif pada 92% followers yang mengisi survei.

Penelitian juga membuktikan bahwa keterikatan atau interaksi (engagement) paling tinggi terjadi pada konten berupa video. Hasil survei juga menunjukkan bahwa setidaknya sejumlah 35% followers menyatakan akan melakukan resharing unggahan ketiga dokter pemilik akun.

Itulah satu di antara pelajaran yang bisa dipetik dari pandemi COVID-19 yang lalu. Oleh karena itu, para tenaga kesehatan dan influencer pada umumnya perlu meningkatkan kecakapannya dalam berkomunikasi di media sosial dengan cara menerapkan strategi persuasi yang baik. Terutama karena di media sosial terjadi rebutan pengaruh antara penyedia informasi yang benar dan kredibel dengan para penyebar hoaks dan misinformasi yang menolak realitas adanya wabah.

Dengan kalimat lain, meminjam istilah orang marketing, pada era sekarang ini, target market kita adalah perhatian (attention) khalayak. Berhubung platform media sosial makin sibuk dari waktu ke waktu, dan “durasi perhatian” (attention span) makin menyempit, hanya orang-orang yang memiliki suara unik, pesan yang jelas dan konsisten serta kesadaran diri yang kuat sajalah yang bisa berhasil.

Oleh karena itu, agar efektif, para komunikator di media sosial harus dapat menggiring perhatian (attention) khalayak, karena attention merupakan sebuah kekuatan yang dipakai untuk menyebarkan pesan tertentu dan mempengaruhi orang lain

Saat ini terdapat tidak kurang dari 4 milliar pengguna media sosial di dunia, termasuk 105 juta pengguna Instagram di Indonesia. Melawan misinformasi tidak hanya menjadi tugas pemerintah, namun merupakan tugas bersama dan sinergi antara pemerintah, profesional dengan kredibilitas di bidangnya dan pemangku kepentingan lainnya. Sudah saatnya para profesional seperti dokter memaksimalkan media sosial miliknya sebagai saluran edukasi hingga meluruskan atau membentuk opini positif.

Harapannya, dengan adanya sinergitas yang baik antara para komunikator, maka hoaks yang muncul di masyarakat tidak hanya diminimalisir produksinya, tetapi juga diredam dengan cara-cara persuasif yang efektif. Studi itu menyarankan agar partisipasi di media sosial secara aktif dapat terus dilakukan pasca pandemi, guna mempromosikan kesadaran sehat masyarakat.

Ketiga dokter influencer di Instagram: dr. Adaninggar (atas kiri), dr. Andhika (kanan), dan dr. Lula Kamal (kiri bawah).

Sebagai doktor ke-139 dari Sekolah Pascasarjana Sahid, disertasi saya yang panjangnya hampir 500 halaman itu dipertahankan di hadapan empat penguji, yakni Dr Bertha Sri Eko Murtiningsih, M.Si (dari Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, Banten), Dr Turnomo Rahardjo, M.Si (Universitas Diponegoro Semarang), Dr Titi Widaningsih, MSi (Universitas Sahid), dan Dr J.A. Wempi, MSi, (Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR). Penelitian dibimbing promotor Prof. Dr. Alo Liliweri (dari Undana, NTT) dan co-promotor Dr. Alex Seran (dari Unika Atmajaya, Jakarta).

Promosi itu juga dihadiri sejumlah guru besar dan pengajar berbagai perguruan tinggi, perwakilan Majelis Kode Etik (MKEK) IDI, dan mantan rektor Univeritas Paramadina Anies Baswedan, yang pernah menjalani karantina mandiri pada Desember 2020 akibat terserang COVID-19 saat ia menjadi gubernur DKI Jakarta.

Menjawab pertanyaan penguji, saya di antaranya menjelaskan bahwa setiap opinion leader seperti dokter perlu menguasai kompetensi komunikasi yang baik, agar pesannya efektif, sehingga dapat menimbulkan niat (intensi) pada diri publiknya agar mau mengubah sikap dan perilaku sehat mereka. Kompetensi komunikator terwujud oleh adanya motivasi, pengetahuan dan keahlian (skill) yang mereka miliki.

Di media sosial para dokter juga memerlukan kompetensi komunikasi yang diwujudkan melalui pengiriman pesan yang persuasif berdasarkan strategi ethos, logos dan pathos yang menjadi strategi retorika gagasan filsuf Yunani Aristoteles. Ethos dibangun oleh adanya kredibilitas yang telah dimiliki para dokter, adanya niat baik (goodwill) dan kepercayaan (trust) yang ada dan harus dipertahankan.

Logos diwujudkan oleh adanya argumen yang dimengerti audience dan masuk akal. Namun, yang paling penting adalah bahwa keduanya, ethos dan logos, harus disertai dengan pemunculan pathos, yakni emotional appeal. Di sini, setiap komunikator termasuk dokter harus dapat memantik emosi positif dalam diri followers mereka di media sosial supaya dapat memunculkan interaksi (engagement) dengan para pengikut itu.

Ketiga strategi itu penting agar pesan para dokter yang menjadi influencer di media digital itu efektif dalam mengubah sikap dan perilaku followers (audience). Persuasi sendiri didasarkan pada retorika, yang jelas-jelas berbicara mengenai kompetensi. Untuk melihat kualitas kompetensi seseorang seperti para dokter dalam penelitian ini, maka harus dilihat persuasinya berdasarkan tiga sekawan: ethos, logos dan pathos.

Berdasarkan konsep enam emosi dasar manusia yang digagas Ekman (2003), ketiga dokter influencer yang diteliti menunjukkan bahwa pemantikan emosi (rasa) gembira mendominasi unsur pathos yang ada, disusul emosi marah, terkejut dan sedih. Emosi lain yang juga dipantik adalah rasa takut dan jijik.

Sehubungan dengan itu, dokter harus pandai menciptakan suasana yang relaks, penuh humor, dan berinteraksi secara baik, terbuka dan responsif, agar pasien di ruang praktik, maupun pengikut di media sosial, juga bersikap terbuka, sehingga lebih mudah didiagnosis dan menerima saran kesehatan.

Emosi positif yang dipantik itu (atau pathos) penting, karena data saja (logos) tidak bisa menerangkan dirinya sendiri. Sedangkan ethos sendiri akan percuma bila tidak disertai logos dan pathos.

Terakhir harus dicatat bahwa, retorika digital di media sosial bukan saja berfungsi dalam komunikasi antar-pribadi (interpersonal communication), tetapi sekaligus menunjukkan adanya komunikasi massa dari seorang komunikator (misalnya pemilik akun di media sosial) kepada publik luas. Dan ini penting sebagai dasar komunikasi, bahkan setelah wabah berakhir.

*) Penulis, Syafiq Basri Assegaff merupakan dokter alumnus FK Unpad, dan pengajar komunikasi di LSPR Communication & Business Institute, Jakarta.

Bahagiakan Followers – Resep Dokter di Instagram

Tulisan ini berasal dari berita yang ditayangkan Kompas.com, 21 Agustus 2023 silam, terkait dengan disertasi saya.

Penelitian: 84 Persen Followers Berniat Hidup Lebih Sehat karena Konten Positif Dokter

KOMPAS.com – Saat ini terdapat tidak kurang dari empat miliar pengguna media sosial di dunia, termasuk 105 juta pengguna Instagram di Indonesia. Melawan misinformasi atau hoaks tidak hanya menjadi tugas pemerintah, namun juga merupakan tugas bersama antara pemerintah, pemangku kepentingan hingga para profesional yang kredibel di bidangnya. Salah satu misinformasi yang cukup banyak terjadi selama masa pandemi Covid-19 ialah soal kesehatan.

Belajar dari masa pandemi, dokter Syafiq Basri Assegaff dalam promosi doktor ilmu komunikasi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid, Rabu (16/8/2023) mengatakan, sudah saatnya para profesional seperti dokter memaksimalkan media sosial miliknya sebagai saluran edukasi hingga meluruskan atau membentuk opini positif.

Saat menerima pengukuhan dalam sidang promosi doktor, 16 Agustus 2023.

Dalam penelitian yang dilakukannya, Syafiq mendapati bahwa sebanyak 84 persen followers menaati pesan dokter di media sosial apabila kontennya menyenangkan. “Emosi positif seperti rasa senang atau gembira yang muncul dalam diri followers menyebabkan mereka mau memberi komentar dan lambang hati (likes), yang merupakan tanda adanya engagement antara kedua belah pihak,” kata Syafiq dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com.

Selama penelitian, ia menggunakan 673 konten dari tiga orang dokter yang menjadi influencer di Instagram selama 10 bulan, mulai Maret hingga Desember 2020 saat periode ketika pandemi Covid-19 sedang memuncak. Hasilnya, 487 dari 581 followers yang mengikuti survei (atau 84 persen) berniat untuk mengubah sikap untuk hidup lebih sehat, apabila pesan yang disampaikan para dokter itu membuat mereka merasa gembira.

Melalui metode campuran (mixed-methods) dalam disertasi yang berjudul Kompetensi ‘Emotional Appeals’ Dokter sebagai Influencer Instagram pada masa Pandemi Covid-19, Syafiq menggabungkan antara survei terhadap 581 followers Instagram dengan analisis konten dan wawancara terhadap tiga dokter influencer. Ketiga dokter yang menjadi narasumber itu adalah ahli penyakit dalam dr. Adaninggar Primadia Nariswari SpPD (@dr.ningz), Surabaya, ahli kedokteran olahraga dr. Andhika Raspati (@dhika.dr) Jakarta, dan bintang televisi dr. Lula Kamal (@lulakamaldr).

Saya memfollow ketiganya melalui akun Instagaram saya ini: @syafiqabasri yang kini sudah mengantongi 1300-an followers.

Hasil wawancara menunjukkan bahwa ketiga dokter menerapkan strategi persuasi yang efektif. Hasil survei meneguhkan hal itu, di mana posting (konten) ketiga dokter di Instagram berhasil memantik emosi positif pada 92 persen followers yang mengisi survei. Penelitian juga membuktikan bahwa keterkaitan atau interaksi  atau engagement paling tinggi terjadi pada konten berupa video. Hasil survei juga menunjukkan bahwa setidaknya sejumlah 35 persen followers menyatakan akan melakukan resharing unggahan ketiga dokter pemilik akun.

Undangan sidang terbuka (promosi)

“Oleh karena itu, para tenaga kesehatan dan influencer pada umumnya perlu meningkatkan kecakapannya dalam berkomunikasi di media sosial dengan cara menerapkan strategi persuasi yang baik,” ujar Syafiq. “Terutama karena di media sosial terjadi rebutan pengaruh antara penyedia informasi yang benar dan kredibel dengan para penyebar hoaks dan misinformasi yang menolak realitas adanya wabah,” imbuhnya. Harapannya, dengan adanya sinergitas yang baik antara para komunikator, maka hoaks yang muncul di masyarakat tidak hanya diminimalisir produksinya, tetapi juga diredam dengan cara-cara persuasif yang efektif.

Dokter harus dapat memantik emosi positif

Studi itu menyarankan agar partisipasi di media sosial secara aktif dapat terus dilakukan pasca pandemi, guna mempromosikan kesadaran sehat masyarakat. Dari sisi ilmu saraf (neuroscience), menurut Syafiq, interaksi (engagement) dalam wujud respon dari audience menimbulkan perasaan positif dalam diri komunikator (dokter) juga, yakni timbulnya perasaan gembira atau senang dalam diri komunikator karena adanya penghargaan meskipun mereka tidak menerima upah dari hasil aktivitasnya di Instagram. “Perasaan senang itu dapat dijelaskan melalui neuroscience yakni munculnya hormon dopamine dalam tubuh komunikator,” kata Syafiq.

Di media sosial, lanjut dia, para dokter juga memerlukan kompetensi komunikasi yang diwujudkan melalui pengiriman pesan yang persuasif berdasarkan strategi ethos, logos dan pathos yang menjadi strategi retorika gagasan filsuf Yunani Aristoteles. Ethos dibangun oleh adanya kredibilitas yang telah dimiliki para dokter, adanya niat baik (goodwill) dan kepercayaan (trust) yang ada dan harus dipertahankan. Logos diwujudkan oleh adanya argumen yang dimengerti audience dan masuk akal. Namun, yang paling penting adalah bahwa, keduanya, ethos dan logos, harus disertai dengan pemunculan pathos, yakni emotional appeal.

“Di sini, setiap komunikator termasuk dokter harus dapat memantik emosi positif dalam diri followers mereka di media sosial supaya dapat memunculkan interaksi (engagement) dengan para pengikut itu,” tambah Syafiq. Ketiga strategi itu penting agar pesan para dokter yang menjadi influencer di media digital itu efektif dalam mengubah sikap dan perilaku followers (audience). Persuasi sendiri didasarkan pada retorika, yang jelas-jelas berbicara mengenai kompetensi. Untuk melihat kualitas kompetensi seseorang seperti para dokter dalam penelitian ini, maka harus dilihat persuasinya berdasarkan tiga sekawan, ethos, logos dan pathos. Kesimpulannya, terang Syafiq, dokter harus pandai menciptakan suasana yang relaks, penuh humor, dan berinteraksi secara baik, terbuka dan responsif, agar pasien di ruang praktik, maupun pengikut di media sosial, juga bersikap terbuka, sehingga lebih mudah didiagnosis dan menerima saran kesehatan.

Daripada Mengeluh, Belajarlah dari Penderitaan Gadis Ini

Bernyanyi di Perahu Penyelamat.

Gadis cantik dalam video ini, Aisha Chaudhary, lahir dengan kelainan kekebalan tubuh (Immunodeficiency disorder), dan diperkirakan hanya bisa bertahan hidup satu tahun. Pada usia 6 bulan, Aisha harus menjalani transplantasi sumsum tulang guna menanggulangi kelainan kekebalan tubuh itu. Tetapi efek samping chemotherapy yang dijalaninya memunculkan penyakit pulmonary fibrosis, dalam paru-parunya.

Penyakit idiopathic pulmonary fibrosis (diderita setidaknya oleh 200.000 orang di AS), merupakan kelainan yang menyebabkan paru-parunya “mengeras” dan menyebabkan sangat sulit bernafas.

Sangat sulit diobati, jaringan paru-paru dan gelembung udara (alveoli) penderita pulmonary fibrosis sangat terdampak. Studi yang ada menunjukkan bahwa biasanya makin hari kerusakan makin memburuk, dan kematian selalu membayangi penderitanya.

Dalam video ini, Aisha menceritakan perjalanan hidupnya, yang pada awalnya bagaikan “hidup dalam kapal yang tenggelam” (in the middle of a shipwreck), tapi kemudian diubahnya dengan merembeskan semangat membara. Bagaikan Voltaire, Aisha yakin bahwa ia bisa menari dalam kehidupan kapal yang karam.

Video Aisha: lima resep sebelum Aisha wafat

Meski dia divonis meninggal dalam usia sangat muda, terbukti bahwa semangat dan optimisme menjadikannya bertahan hidup lebih lama.

  1. Percaya pada keajaiban (miracles).
  2. Hidup lah pada saat ini, jangan memikirkan yang sudah lewat.
    Jika kita melihat hidup hari ke hari, dari jam ke jam, dari menit ke menit, maka kebahagiaan kita akan berlipat-lipat. Alih-alih dari merasakan kesedihan duduk di kursi roda tanpa aktivitas, Aisha membayangkan gambaran-gambaran indah kehidupan… menyanyi, menari, dan sebagainya.
  3. Selalu ada kesempatan dalam kesulitan. Pada tahun-tahun awal dia merasa akan sulit bersekolah, tapi belakangan Aisha sudah belajar matematika dan seni. “Bahkan saat sakit begitu saya lebih produktif ketimbang saat saya sehat,” katanya. Aisha kemudian menunjukkan dua lukisan menggunakan pastel yang dibuatnya.
  4. Impikan sesuatu, cita-cita setinggi mungkin. Dare to dream.
    Meski berada di kursi roda dan tidak bisa melangkah, setiap malam Aisha mengimpikan bahwa dirinya berjalan di tengah pasar, dan membayangkan dirinya berdansa saat perkawinan sepupunya. Aisha memvisualisasikan segalanya secara terinci, warna baju yang (akan) dipakaiya, lagu yang akan dinyanyikan, setting panggung, bahkan ketika dia berlarian bersama dua anjingnya . “Saat itu saya putar film diri saya, yang pada saat itu tampaknya mustahil. Tapi kenyataannya, saya bisa berjalan di tengah pasar di London bersama teman-teman; dan saya berhasil menari pada pernikahan sepupu, dan saya benar-benar berjalan dan meninggalkan kursi roda,” kata Aisha.

“Ingatlah,” katanya, “segala sesuatu terjadi dua kali: pertama di kepala kita, dan kedua dalam realitas.”

  1. Hewan peliharaan adalah obat terbaik. Bagi Aisha, memelihara anjing merupakan hobby yang sangat bermanfaat baginya. Pets diketahui memiliki sifat therapeutic, katanya.

Well, saya tidak tahu apa hewan kesukaan Anda dan tidak ingin memperdebatkan soal hewan peliharaan (seperti anjing yang bagi sebagian umat Islam dianggap kurang “pas”), tetapi yang penting adalah resep seorang pemudi seperti Aisha untuk bersikap optimis itulah yang kiranya yang perlu kita catat.

Aisha yang lahir pada 27 Maret 1996 meninggal dalam usia 18 tahun, pada 24 Januari 2015 silam.

Buku yang ditulis gadis India ini, “My Little Epiphanies” diterbitkan sehari sebelum Aisha wafat. Sebuah film berjudul The Sky is Pink dibuat berdasarkan kisah hidup Aisha. Sejak usia 15 tahun hingga kematiannya, putri Niren Chaudhary ini menjadi pembicara yang memotivasi banyak orang.

Semoga bermanfaat.

Kisruh Komunikasi Kesehatan

Berbagai sengkarut terkait isu RUU Kesehatan disebabkan lemahnya komunikasi publik Kementerian Kesehatan. Kecakapan dalam berkomunikasi ini sangat penting agar persoalan tidak menjadi berlarut-larut dan ada titik temu.

KOMPAS, 24 Mei 2023 , halaman 7 (klik di sini untuk tulisan aslinya di Kompas).

Ada yang tak biasa di Jakarta, 8 Mei silam. Ribuan dokter, dokter gigi, perawat, bidan, dan sejumlah tenaga kesehatan lain turun ke jalan. Mereka protes. ”Rancangan Undang-Undang Kesehatan harus ditinjau ulang,” teriak pendemo.

Tak pelak, aksi damai itu jadi perhatian besar media. Sejak pola omnibus diterapkan, kontroversi memang terus bergulir. Terkait RUU Kesehatan, seperti dilaporkan Kompas, setidaknya 15 undang-undang profesi dan kesehatan akan digabung jadi satu.

Dokter, bidan, hingga mahasiswa demo tolak RUU Kesehatan pada Senin 8 Mei. (Foto: Twitter @PBIDI)

Polemik yang muncul berhubungan dengan kewenangan organisasi profesi (OP), terutama dalam hal izin praktik, kolegium pendidikan, konsil kedokteran, hingga isu investasi dan tenaga kesehatan asing.

Menurut harian ini, persoalan menjadi berlarut-larut karena dari sejak topik RUU Kesehatan omnibus law muncul September 2022, tidak pernah ada titik temu antara pemerintah dan DPR dengan organisasi profesi dan kesehatan. Masing-masing menyampaikan aspirasi ke ruang publik, tanpa upaya mediasi untuk saling mendengarkan. Puncaknya, demonstrasi damai Senin itu.

Secara umum, para pendemo menganggap Kementerian Kesehatan kurang mengakomodasi kepentingan organisasi profesi (OP), seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Ikatan Dokter Gigi Indonesia (IDGI).

Baca juga : Aksi Damai Ribuan Tenaga Kesehatan Tuntut Pembahasan RUU Kesehatan Dihentikan

Sejatinya, mudah bagi Menkes dan jajarannya mengakomodasikan suara-suara para pemangku kepentingan. Jika Kemenkes merasa sudah melakukan dialog, bukan berarti pintu harus ditutup karena masih banyak urusan yang disengketakan perlu dikunjungi ulang. Apa salahnya melakukan dua-tiga kali revisit?

Ada dua alasan untuk itu. Pertama, siapa lagi yang harus didengarkan oleh Menkes selain para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain dalam isu ini? Kedua, kita pernah mengalami buruknya komunikasi pemerintah pada saat awal pandemi Covid-19 yang jadi pelajaran agar tak terulang.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kiri) menyerahkan daftar inventarisasi masalah RUU Kesehatan kepada DPR RI yang diterima oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI di Jakarta, Rabu (5/4/2023).

Masih hangat dalam ingatan kita, di awal pandemi banyak yang menilai Pemerintah Indonesia, khususnya Kemenkes (waktu itu di bawah Menteri Terawan Agus Putranto), tidak terbuka kepada publik dalam upayanya menanggulangi wabah. Bahkan, Presiden Joko Widodo sendiri tahun 2020 pernah mengakui, komunikasi jajaran pembantunya buruk. Setidaknya tiga kali Presiden menegur dan memperingatkan para menterinya untuk bisa membangun komunikasi publik yang baik.

Untunglah Presiden kemudian menunjuk Menkes baru, Budi Gunawan Sadikin (BGS) yang, meskipun bukan dokter, diharapkan menjadi manajer yang piawai mengelola organisasi sepenting Kemenkes.

Walakin, rupanya asa pada BGS agak terusik ketika sejumlah masukan atau kritik tampak kurang mendapat tanggapan yang layak, termasuk misalnya pada kasus dokter spesialis bedah saraf Zaenal Muttaqin yang diberhentikan dari Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi Semarang.

Menurut Kompas (20/4/ 2023), pemberhentian dr Zaenal diduga akibat kritiknya terkait RUU Kesehatan. Menteri BGS sendiri tampaknya pernah menjelaskan sebagian perkara yang disengketakan tersebut.

Berdasarkan dialognya dengan para dokter dan OP, di antara perkara yang menurut BGS perlu dibenahi adalah urusan izin praktik dokter yang di dalamnya terdapat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), ancaman terkait rekomendasi izin praktik dokter, masalah pembagian kompetensi (shared competency) di antara para tenaga medis, dugaan adanya feodalisme di lingkungan kesehatan, dan rebutan lahan di antara sebagian tenaga medis.

Dalam sebuah wawancara dengan sebuah stasiun televisi, BGS, di antaranya, mengatakan, dirinya merasa kasihan kepada tenaga medis seperti dokter karena banyaknya biaya yang menjadi beban mereka dalam berbagai urusan administrasi.

Di antara sekian banyak kekhawatiran para dokter terhadap RUU Kesehatan adalah pelemahan OP karena banyak tugas dan fungsinya yang diambil alih Kemenkes.

Pandangan dokter

Masih banyak dokter yang tak sependapat dengan narasi-narasi yang dikemukakan BGS. Di antara sekian banyak kekhawatiran para dokter terhadap RUU Kesehatan adalah pelemahan OP karena banyak tugas dan fungsinya yang diambil alih Kemenkes. Juga bergesernya fungsi pendidikan atau keilmuan dari fakultas kedokteran universitas kepada Kemenkes.

Di sebuah diskusi dengan sejumlah dokter di grup media sosial para dokter, misalnya, dikatakan bahwa boleh jadi terdapat kekurangan di IDI, tetapi bukan berarti semuanya buruk karena sangat mungkin itu hanya ulah oknum. Kata seorang dokter senior, Kemenkes mesti ingat, berbeda dengan banyak OP atau lembaga independen lain, IDI tak menerima bantuan sepeser pun dari pemerintah.

Oleh karena itu, menurut mereka, naif untuk mempermasalahkan iuran anggota yang menjadi satu-satunya sumber dana bagi operasional IDI.

Seorang ahli kedokteran nuklir yang juga guru besar FK Universitas Padjadjaran, Johan S Masjhur, menulis di Surat Pembaca Kompas, alih-alih menyelesaikan masalah, RUU Kesehatan omnibus law justru akan mengacaukan sistem pelayanan kesehatan nasional. ”RUU itu tampaknya dirancang oleh orang-orang yang tak paham masalah kesehatan dan kedokteran di Indonesia, mungkin pula mempunyai maksud tertentu di baliknya,” tulisnya.

Lemahnya komunikasi

Sejatinya berbagai sengkarut terkait isu RUU Kesehatan dapat diselesaikan secara lebih baik kalau saja ada tanggapan dan interaksi (komunikasi) yang cukup dari Menkes BGS.

Kurangnya tanggapan itu, misalnya, tampak dari interaksi BGS di akun Instagram miliknya (@budigsadikin). Dengan pengikut (follower) lebih dari 59.000, kita melihat pemilik akun nyaris tak pernah menanggapi komentar dan pertanyaan para pengikutnya.

Penulis menyimak perbincangan dalam unggahan @budigsadikin, 14 Maret 2023. Unggahan berisi ajakan memberi tanggapan untuk RUU Kesehatan yang mengutip potongan video KompasTV itu mendapat lebih dari 400 komentar (terbanyak di antara unggahan lainnya), termasuk pertanyaan, bahkan hujatan kasar, dari audiens yang di antaranya memintanya mundur atau mencelanya sebagai—maaf—”bodoh.”

Sebegitu banyaknya kritik yang cukup keras (bahkan tak etis) di unggahan itu, sama sekali tak memperoleh jawaban balik dari Pak Menteri.

Padahal, di era informasi digital yang sangat transparan serta cepat dan mudah menyebar luas, percuma saja punya pengikut banyak di medsos jika kita tak pernah ngobrol (berinteraksi) karena sekarang ini yang namanya publik (”pasar”) adalah conversation atau perbincangan, saling bertukar informasi dan berinteraksi sesama pengguna.

Itulah yang kini disebut e-WOM, electronic-word-ofmouth, yang menjadi andalan para pemasar di dunia. Kata ahli pemasaran, ”Market’ Anda sekarang adalah perhatian (attention) publik. Alih-alih sebagai saluran untuk propaganda (atau bicara satu arah), medsos mestinya bisa jadi wadah bagi semua komunikator (pribadi ataupun organisasi) untuk memonitor perbincangan yang berlangsung dan berinteraksi secara terbuka.”

Sebab, dari situ sering kali muncul bara api yang bisa memantik isu-isu penting atau bahkan sebuah krisis.

Di samping medsos, penulis memandang semua centang perenang dalam sengketa RUU Kesehatan itu boleh jadi berasal dari urusan komunikasi yang tidak nyambung.

Di samping medsos, penulis memandang semua centang perenang dalam sengketa RUU Kesehatan itu boleh jadi berasal dari urusan komunikasi yang tidak nyambung. Peringatan Presiden Jokowi tiga tahun lalu dalam perkara komunikasi publik para pembantunya sangat patut diperhatikan.

Penulis bersangka baik bahwa pasti Menteri BGS punya maksud baik, tetapi sebagai komunikator mungkin saja ada yang perlu ditingkatkan dalam dirinya agar proses pelaksanaan RUU itu tidak tercoreng.

Guna menangani ini, kita berharap BGS dapat berperan sebagai komunikator yang kompeten. Jika dilihat dari lensa komunikasi, kompetensi komunikasi setidaknya memerlukan tiga hal: motivasi, pengetahuan yang cukup, dan berbagai kecakapan (skills) yang andal.

Pertama, motivasi yang menunjukkan adanya sejumlah maksud baik (goodwill)—sikap yang amat penting bagi seorang komunikator selevel menteri. Dalam hal ini, BGS telah sering menyatakan tujuan berbagai kebijakannya sebagai ”demi kepentingan masyarakat luas”, termasuk ketika ia bicara di depan DPR dan media massa.

Kedua, seorang komunikator yang kompeten juga memerlukan pengetahuan (knowledge) yang cukup tentang apa yang dibicarakannya. Untuk ini kita pun cukup percaya bahwa BGS termasuk menteri yang selama lebih dari dua tahun terakhir telah berhasil menimba pengetahuan dalam perkara kesehatan dan kedokteran dari para staf dan orang-orang di sekitarnya.

Sebagai sosok yang pandai, lulusan ITB dan bankir ini dikenal senang dan cepat belajar hal-hal baru. Kita tidak ragukan hal itu. Itu sebabnya pula barangkali mengapa Presiden memilihnya sebagai Menkes.

Namun, motivasi dan pengetahuan saja tidaklah cukup. Seorang komunikator yang kompeten juga memerlukan kecakapan (skills) dalam berkomunikasi, seperti hubungan antar-pribadi (interpersonal) yang unggul, koordinasi, dan melakukan persuasi yang efektif.

Melalui skill persuasi dan hubungan pribadi yang lebih baik, misalnya, dokter senior sekelas Zaenal Muttaqin dapat diajak bicara dari hati ke hati sehingga dapat diperoleh solusi yang saling menguntungkan.

Kecakapan lain, yang juga jadi kualitas pemimpin, adalah koordinasi, yang juga kunci bagi jalannya komunikasi dalam sebuah ketidaksepakatan. Guna membantu koordinasi yang baik agar dicapai hasil akhir yang efektif, akses ke informasi yang sesuai dan benar harus disebarkan dengan cara yang sesuai, pada saat yang tepat.

Mungkin saja banyak nakes kurang dapat informasi cukup, padahal tak adanya informasi menciptakan kecemasan, bahkan frustrasi. Namun, informasi hanya menjadi komunikasi ketika ada hubungan saling percaya (trust) di antara para pihak. Dalam kasus RUU Kesehatan, jelas trust itu mesti terus dibangun dan dipertahankan.

Dalam kasus RUU Kesehatan, jelas trust itu mesti terus dibangun dan dipertahankan. Repotnya, dalam banyak isu atau krisis, pihak yang bertanggung jawab sering kali lebih suka membela diri ketimbang berusaha bersikap terbuka. Caywood dan Englehart (2007) menerangkan, berbagai krisis di Amerika menunjukkan banyak organisasi masih mengulangi kesalahan fatal, seperti memilih membela diri ketimbang memproteksi ”brand” atau reputasi lembaga (negara)-nya.

Adanya kecakapan dalam berkomunikasi ini sangat penting agar seorang komunikator tidak terkungkung sehingga seolah berada dalam echo chamber, hanya dapat mendengar suara sendiri.

Kita berharap Menkes BGS yang sudah berhasil menangani pandemi Covid-19 bersama tenaga kesehatan dan OP bisa saling berkomunikasi secara lebih baik agar tenaga dan pikiran bisa fokus pada pemerataan kesehatan di seluruh Indonesia.

Kita tidak mungkiri adanya kelemahan di sana-sini. Namun, kalau ada nila setitik yang dapat merusak susu sebelanga, bukankah tidak berarti kita harus membuang seluruh susu, melainkan mencegah masuknya pewarna itu ke dalam kuali?

###

Syafiq Basri Assegaff Dokter dan Dosen Komunikasi di LSPR Communication and Business Institute, Jakarta.

Mengapa para Nabi berasal dari Keluarga yang Sama?

Adakah dari kita yang bisa menjawab pertanyaan ini: “Mengapa para nabi berasal dari keluarga (‘ahlulbait’) yang sama?

Rupanya kawan yang bertanya itu baru selesai membaca Surat Ali-Imraan. Di antara hikmah yang bisa dipetik dari surat ketiga dalam Al-Quran itu, tetapi sekaligus termaktub pada banyak ayat lain dalam kitab suci itu adalah bahwa, ternyata semua tugas suci para nabi dilanjutkan secara turun menurun dalam sebuah keluarga.

Saya menduga, mungkin sekali hal itu berkaitan dengan bagaimana gen dan genetika bekerja yang banyak dipelajari ilmu kedokteran.

Oleh karenanya tidak aneh bila muncul pertanyaan, mengapa para nabi berasal dari ahlulbait yang sama, kakak-beradik, ayah ke anak dan bahkan hingga cucu?

Keluarga Nabi SAW ibarat perahu Nabi Nuh

Keluarga Imran (makanya disebut Aali Imran” (atau ahlil-bait Imran), misalnya, disebutkan turun-temurun dari Zakaria, Yahya, Maryam, Nabi Isa.

Lalu ada Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail dan Nabi Ishaq. Kemudian Nabi Musa punya deputy Nabi Harun, adiknya. Lalu ada Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Semuanya anak-beranak atau figur yang berada dalam satu keluarga.

Apakah semuanya kebetulan saja. Bukankah mustahil Allah SWT ‘asal petik’ seorang figur menjadi Nabi, tetapi telah di-desain (dirancang) oleh-Nya, bahwa mereka harus “berasal dari sebuah keluarga tertentu.” Ini mengingatkan saya pada sebuah pernyataan kawan saya John, seorang Muslim dari AS yang pernah bilang, “Saya yakin bahwa tugas sesuci yang diemban seorang nabi harus diteruskan oleh orang-orang suci dari keluarganya sendiri, yang dipilih Allah.”

Sejalan dengan itu, ada hadis Nabi saw yang menyatakan, “Aku akan menjawab panggilan (kematian dari Tuhanku). Sungguh, aku tinggalkan pada kalian dua pusaka penting (tsaqalain): kitab Allah dan ahlulbaitku. Sungguh keduanya tidak akan berpisah sehingga datang menjumpaiku di telaga al-Haudh.

Hadis sahih dari Nabi Muhammad saw. ini diriwayatkan oleh lebih dari 30 sahabat dan dicatat oleh banyak ulama Sunni. Beberapa rujukan utama hadis tersebut, di antaranya:

  • Al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak `ala al-Sahihayn (Beirut), juz 3, hlm. 109-110, 148, dan 533). Dia menyatakan bahwa riwayat ini sahih berdasarkan kriteria al-Bukhari dan Muslim; al-Dzahabi membenarkan penilaiannya.
  • Muslim, Al-Sahih, (terjemahan Inggris), kitab 031, nomor 5920-3
  • Tirmidzi, Al-Sahih, juz 5, hlm. 621-2, nomor 3786 dan 3788; juz 2, hlm. 219 al-Nasa’i, Khasa’is’Ali ibn Abi Talib, hadis nomor 79
  • Ahmad b. Hanbal, Al-Musnad, juz 3, hlm. 14, 17, 26; juz 3, hlm. 26, 59; juz 4, hlm. 371; juz 5, hlm. 181-2, 189-190
  • Ibn al-‘Athir, Jami` al-‘usul, juz 1, hlm. 277
  • Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa al-nihayah, juz 5, hlm. 209. Dia mengutip al-Dzahabi dan menyatakan hadis ini sahih.
  • Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, juz 6, hlm. 199
  • Nasir al-Din al-Albani, Silsilat al-Ahadith al-Sahiha (Kuwait: al-Dar al-Salafiyya), juz 4, hlm. 355-8. Dia menyusun banyak sanad yang dianggapnya dapat diandalkan.
  • Dan masih banyak lagi rujukan hadis ini yang tidak mungkin ditampilkan di sini.

Tetapi bukankah Nabi saw. mengatakan “Aku tinggalkan kitab Allah dan sunahku”?

Kata sebagian ulama, hal itu merupakan kesalahpahaman yang jamak. Faktanya, tidak ada dasar yang dapat diandalkan dari pernyataan itu yang dihubungkan pada Khutbah Terakhir Nabi saw. Riwayat itu sama sekali tidak ada dalam kitab sahih yang enam (kutub as-sittah).

Versi riwayat itu ada dalam Muwatta’ karya Malik, Sirat Rasul Allah Ibnu Hisyam, dan dalam Ta’rikh milik al-Thabari, semuanya terdapat sanad yang tidak lengkap dengan beberapa mata rantai sanad yang hilang.

Riwayat lain yang memiliki sanad lengkap (isnad) — yang jumlahnya sangat sedikit — semuanya terdapat periwayat yang disepakati tidak dapat dipercaya oleh ulama rijal Sunni terkemuka. Fakta luar biasa ini dapat dikonfirmasi oleh mereka yang tertarik dalam penelitian dengan merujuk kitab terkait.

Tentu saja, tidak ada yang mengatakan bahwa, sunah Nabi saw. tidak harus diikuti. Sebagaimana telah disebutkan, Nabi saw. meminta umat muslim untuk merujuk pada ahlulbaitnya sebagai sumber terpercaya, murni dan terjaga bagi sunah-sunahnya.

Ketika ditanya, lalu bagaimana dengan hadis yang menyebutkan untuk berpegang pada “Al-Quran dan sunnah” seperti yang dinukil di atas, kawan saya mengajukan pendapatnya, begini: Sebagian ulama percaya bahwa “dua pusaka peninggalan” Nabi Muhammad saw. adalah Quran dan ahlulbait (anggota keluarganya). Tetapi, berhubung ahlulbait adalah ‘sumber terpercaya sunah Nabi saw, maka hanya dengan menerima pengajaran dari kedua sumber tersebutlah, seorang muslim dapat mencapai petunjuk sejati.

Wallahua’lam.

Imam yang Syahid di Mihrab

Setiap memasuki hari ke-19 sampai ke-23 bulan Ramadhan mayoritas umat Islam akan mengenang peristiwa besar yang terjadi pada tahun 40 Hijriah. Berikut ini kisah singkatnya.

Tulisan seni kaligrafi 'Ali bin Abithalib': sang Singa Allah
Tulisan seni kaligrafi ‘Ali bin Abithalib’: sang Singa Allah

Mirip Nabi saw, akhlak Imam Ali bin Abithalib (as) sungguh luhur. Saat itu kepalanya baru saja ditebas pedang. Racun di badannya mulai menjalar. Dalam masa perawatan sebelum kematiannya, keluarga Ali memberinya susu. Ketika diberi semangkuk susu untuk menetralkan racun di tubuhnya, Imam hanya meminum setengahnya. Ia menyisakan separuhnya lagi. “Berikan (sisa) susu ini kepada orang asing yang ada di penjara. Perutnya kosong,” katanya.  Seorang yang hadir di situ bertanya, “Siapa orang asing di penjara itu, wahai Imam?” Beliau menjawab, “Orang yang telah berusaha membunuhku, Ibnu Muljam.”

Mari mengenang sejarah sahabat Nabi saw. Sesungguhnya dari sekian banyak sahabat Nabi saw, yang paling banyak kita kenal adalah empat sahabat besar, yakni Abubakar ra, Umar ra, Usman ra dan Ali ra – yang keempatnya kemudian popular sebagai Khulafa’-ur- Rasyidin.

Dari ke-4 sahabat besar itu, tiga yang terakhir ternyata wafat terbunuh: Khalifah Umar ra, Khalifah Usman ra, dan Khalifah Ali ra. Sahabat Usman ra (memerintah mulai tahun 644 sd 656 M) dibunuh di rumahnya, di Madinah, oleh pemberontak dan pengacau, setelah sebelumnya dikepung selama 40 hari. Sayidina Usman, yang dikenal sebagai saudagar kaya yang dermawan (dan menurut sebagian sejarawan pernah menikahi dua putri Nabi saw) itu syahid pada hari Jumat 18 Dzulhijjah 35 H (656 M). Dampak peristiwa terbunuhnya Usman itu kemudian berjalan cukup pelik; terjadi fitnah di sana-sini.

Setelah Usman ra meninggal, pengganti beliau adalah Ali (ra). Sayidina Ali yang sepupu dan sekaligus menantu Nabi saw  itu juga dibunuh saat melaksanakan solat subuh di masjid Kufah, Irak. (Ali yang dipukul pedang Ibnu Muljam pada 19 Ramadhan 40 H itu kemudian wafat tiga hari setelah peristiwa itu (pada 21 Ramadhan).

Berhubung tragedi pembunuhan Imam Ali berlangsung pada 10 hari-hari terakhir bulan Ramadhan ini, maka layak kiranya kita simak kisahnya berikut ini:
Continue reading Imam yang Syahid di Mihrab

Rela pada Keputusan Tuhan -2 kunci dari Imam Ali as

Halaman Quran tulisan Imam Ali bin Abithalib as

Dua kata-kata Imam Ali bin Abithalib as berikut ini sangat menarik dan penting untuk pedoman hidup setiap Mukmin.



A.

من رضي با القضاء طاب عيشه

Barangsiapa ridho pada putusan Allah, maka akan indah (bagus) hidupnya.” Begitulah nasihat Imam Ali bin Abithalib (as).
Hal ini sejalan juga dengan perintah beliau, yg mengatakan:

B.

اذا لم يكن ما تريد
فارد ما يكون

Artinya, “Jika tidak engkau dapati yg kau inginkan, maka inginkan lah yang (telah) terjadi.”

Rupanya itu sebuah instruksi dari beliau. Jika kita menerapkan yang B itu, maka otomatis kita akan menjalani hidup seperti yang di atasnya (A). Agar bisa meraihnya, kiranya.kita dapat mengikuti sabda Rasulullah SAW yang mengajarkan agar kita sering membaca do’a berikut ini:


اله رضني بقضاءك

Wahai Ilaahi, jadikan daku rela (ridha) dengan semua putusan-putusan-Mu. Artinya, kita selalu membutuhkan kehadiran Allah agar selalu ridha dengan keputusan-Nya.